WAHANANEWS.CO, Jakarta - Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Fajar Riza Ul Haq, menegaskan bahwa keadilan akses pendidikan hanya dapat diwujudkan melalui gerakan kolektif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pesan itu ia sampaikan saat membuka Workshop Fasilitasi Daerah Pendukung Program Revitalisasi Sekolah yang digelar Direktorat SMA Kemendikdasmen di Kota Tangerang Selatan, dikutip dari kemendikdasmen, Sabtu (22/11/2025).
Baca Juga:
Kemen PPPA Apresiasi Program Humanis Kemendikdasmen untuk Lindungi Anak di Sekolah
Workshop ini membahas penguatan Gerakan Anak Rentan Putus Sekolah (ARPS), sebuah inisiatif yang berfokus pada identifikasi dini, pendampingan, dan penguatan motivasi belajar bagi siswa yang menunjukkan gejala risiko putus sekolah.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh para Kepala Bidang SMA dari Provinsi Jambi, NTB, dan Maluku Utara, para penanggung jawab ARPS tingkat provinsi, kepala SMA pelaksana, fasilitator, serta tim teknis Direktorat SMA.
Dalam sambutannya, Wamen Fajar menggarisbawahi bahwa ARPS bukanlah program wajib pemerintah pusat, melainkan gerakan sukarela yang tumbuh dari rasa kepedulian bersama.
Baca Juga:
Bahasa Inggris Jadi Pelajaran Wajib di SD Didukung Pakar UGM, Tapi Kasih Catatan Ini
“Keadilan akses pendidikan itu tidak diberikan, tetapi diperjuangkan. Perjuangan itu dilakukan oleh kita semua,” ujarnya.
Ia menyampaikan apresiasi kepada daerah dan sekolah yang telah bergerak lebih dulu melakukan pencegahan putus sekolah tanpa menunggu instruksi formal.
Menurutnya, langkah-langkah mandiri ini merupakan bukti kesadaran moral untuk memastikan setiap anak memperoleh hak dasar berupa pendidikan.
“Gerakan ini lahir dari kesadaran moral, bukan instruksi. Karena itu nilainya sangat tinggi,” tegasnya.
Data Susenas 2024 menunjukkan bahwa partisipasi sekolah pada kelompok usia 16–18 tahun masih menjadi yang terendah di antara jenjang lainnya.
Lebih dari 20 persen lulusan SMP tidak melanjutkan ke SMA/SMK, bahkan hingga November 2025 tercatat 453.605 siswa putus sekolah di jenjang tersebut.
Situasi inilah yang mendorong Direktorat SMA menginisiasi Gerakan ARPS pada 2021.
Direktur SMA, Winner Jihad Akbar, menjelaskan bahwa program ini kini telah dilaksanakan di delapan provinsi NTT, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Aceh, NTB, Maluku Utara, dan Bali dengan melibatkan lebih dari 900 sekolah
Winner melaporkan bahwa sebanyak 8.491 siswa telah teridentifikasi sebagai anak rentan putus sekolah, dan 76 persen di antaranya berhasil dipertahankan agar tetap bersekolah melalui pendampingan intensif.
“Tujuan utama gerakan ini adalah menjaga keberlanjutan upaya pencegahan agar setiap anak benar-benar mendapatkan haknya atas pendidikan yang bermutu,” jelasnya.
Wamen Fajar menambahkan bahwa kerentanan putus sekolah tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga kondisi psikologis, persoalan keluarga, lingkungan sosial, hingga rendahnya motivasi belajar.
Ia menyoroti pengaruh budaya digital yang mendorong pola pikir serba cepat namun dangkal.
“Pengaruh media sosial membuat banyak anak terjebak pada pola pikir cepat tapi dangkal. Etos belajar melemah karena mereka melihat jalan pintas sebagai hal yang normal,” ujarnya.
Karena itu, ia menilai sekolah harus lebih peka dalam memantau perubahan perilaku siswa, mulai dari peningkatan absensi, menurunnya capaian belajar, hingga munculnya perilaku indisipliner berulang.
Deteksi dini dianggap penting agar sekolah dapat menyesuaikan strategi pembelajaran maupun pendekatan pendampingan.
Wamen Fajar menekankan bahwa sekolah memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melayani semua anak tanpa diskriminasi.
Ia mencontohkan implementasi jalur afirmasi yang membuka akses bagi peserta didik dari keluarga sangat miskin (desil 1 dan 2).
“Sekolah tidak boleh menjadi institusi yang mengawetkan ketimpangan. Sekolah harus menjadi institusi yang menciptakan keadilan bagi semua anak,” katanya.
Meski keragaman latar belakang siswa membawa dinamika tersendiri, ia menegaskan bahwa kondisi tersebut justru membuka peluang bagi sekolah untuk membangun karakter inklusif dan menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman.
Dengan mempertimbangkan kompleksitas faktor penyebab putus sekolah, Wamen Fajar kembali mengingatkan pentingnya peningkatan kapasitas guru, terutama dalam konseling dasar dan dukungan psikologis.
“Banyak anak menghadapi kelelahan mental. Karena itu semua guru harus punya keterampilan konseling dasar,” tegasnya.
Ia menilai dukungan emosional dari lingkungan sekolah sangat menentukan keberlanjutan belajar anak-anak dengan risiko tinggi putus sekolah.
Menurutnya, angka putus sekolah yang tinggi akan menimbulkan dampak besar bagi bangsa di masa depan.
“Jika angka putus sekolah dibiarkan, beban ekonomi dan sosial ke depan akan sangat besar. Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa,” tuturnya.
Dampak tersebut, lanjutnya, bukan hanya dirasakan individu yang kehilangan kesempatan, tetapi juga memengaruhi produktivitas nasional dan meningkatkan beban sosial negara.
Menutup sambutannya, Wamen Fajar mengajak seluruh pihak untuk memperkuat jejaring dan memperluas cakupan Gerakan ARPS.
“Kami tidak bisa bekerja sendiri. Pendidikan adalah urusan bersama, pusat, daerah, sekolah, dan masyarakat harus bergerak bersama,” ujarnya.
Ia berharap gerakan yang telah berjalan di delapan provinsi ini dapat menjadi model bagi daerah lain agar semakin banyak anak terlindungi dari risiko putus sekolah dan memperoleh hak pendidikan yang layak.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]