WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mendesak pemerintah agar tidak menerapkan skema power wheeling dalam sistem ketenagalistrikan nasional, mengingat risiko kenaikan tarif listrik yang akan membebani konsumen.
"Pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru menerapkan sistem power wheeling di sistem ketenagalistrikan kita, karena implementasi power wheeling dalam jangka panjang akan merugikan konsumen," ujar Tulus, mengutip Medcom, Rabu (11/9/2024).
Baca Juga:
Kritik Pedas YLKI: Kebijakan Harga Tiket Taman Nasional 100-400% Justru Bunuh Minat Wisatawan
Tulus menilai bahwa skema ini berbahaya karena memungkinkan produsen listrik swasta menggunakan jaringan listrik yang selama ini dikelola oleh negara.
"Kalau swasta sudah terlibat, dikhawatirkan akan muncul kartel atau oligopoli di sistem ketenagalistrikan. Dengan adanya peran swasta, pemerintah akan kesulitan mengendalikan tarif listrik," lanjutnya.
Potensi Kerugian bagi Konsumen
Baca Juga:
Kandungan Pestisida Anggur Shine Muscat Viral, YLKI Tegaskan Pentingnya Pengawasan Ekstra
Tulus menambahkan, apabila pemerintah kesulitan mengontrol tarif, maka masyarakat sebagai konsumen akan harus membayar tarif listrik yang lebih mahal.
"Dalam jangka panjang, power wheeling bisa merugikan konsumen," jelasnya.
Pada akhirnya, ia menyatakan bahwa skema power wheeling akan menimbulkan masalah bagi rakyat dengan tarif listrik yang tinggi, sementara jaringan listrik negara akan dimanfaatkan oleh pihak swasta.
"Investasi untuk jaringan listrik itu sangat mahal," ujarnya.
Menurut Tulus, sistem kelistrikan harus dikuasai sepenuhnya oleh negara dan dinikmati oleh masyarakat.
"Negara harus hadir dengan kuat dalam mengendalikan sistem ketenagalistrikan, bukan malah memberikan kesempatan kepada segelintir investor," tegasnya.
Pakar Energi Tolak Power Wheeling
Pakar energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Nanang Hariyanto, menyatakan bahwa Indonesia belum memerlukan skema power wheeling yang disusupkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Skema tersebut, menurutnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan berisiko menaikkan tarif listrik serta menurunkan daya beli masyarakat.
"Sebagai akademisi, saya bisa katakan klausul power wheeling bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan negara untuk menguasai kebutuhan hidup rakyat banyak, termasuk ketenagalistrikan," ujarnya.
Nanang menegaskan bahwa RUU EBET berisiko memaksa perubahan pada sistem kelistrikan yang semula tertutup menjadi terbuka, yang pada akhirnya akan membebani koordinasi dan distribusi listrik yang selama ini berjalan ekonomis.
Jangan Dipaksakan
Nanang menegaskan bahwa pemerintah dan DPR harus menjaga kepentingan nasional.
"Kita jangan dipaksa menerapkan power wheeling tanpa mempertimbangkan dampak buruknya," jelasnya.
Nanang dengan tegas menolak skema power wheeling karena dianggap merugikan masyarakat, terutama karena berpotensi menaikkan tarif listrik.
"Saya menolak karena itu tidak baik untuk masyarakat dan berisiko menaikkan tarif listrik," tutupnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, meminta agar pasal power wheeling dalam RUU EBET dihapus, karena dinilai melanggar konstitusi, menurunkan pendapatan negara, dan menggerus APBN.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]