WahanaNews.co | Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai Undang- Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum mampu mengimbangi progres transformasi digital, terutama dalam aspek industri ekonominya.
“Meskipun pemerintah telah berupaya memperbarui peraturan untuk mengakomodir perkembangan ekonomi digital yang rumit, perbaikan yang signifikan masih diperlukan dalam segi penegakan peraturan,” kata Peneliti CIPS, Tiola Allain, melansir Marketers.com, Rabur (22/2/2023).
Baca Juga:
Utamakan Keselamatan Konsumen, PLN Siap Tindak Tegas Pencuri Kabel Listrik
Menurutnya, perlindungan konsumen merupakan faktor yang membutuhkan perhatian lebih dalam industri e-commerce dan teknologi finansial (fintech) di Indonesia.
Tahun 2021 lalu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat pengaduan terhadap lembaga jasa keuangan mencapai 49,6% dari seluruh aduan yang diterima.
Sekitar 22% dari aduan tersebut terkait dengan perusahaan peer-to-peer (P2P) lending ilegal, diikuti oleh e-commerce yang menerima 17,2% dari keluhan, termasuk mengenai kegagalan penerimaan produk yang dipesan hingga kualitas produk.
Baca Juga:
4 Tips Listrik Aman Saat Liburan
Dalam beberapa tahun ke belakang, pemerintah telah mengadopsi regulasi baru untuk mengikuti perkembangan industri yang dinamis dan cepat.
Contohnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Mei 2022 memperbarui peraturan tentang perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan melalui Peraturan OJK (POJK) No. 6/POJK.07/2022 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan ini memuat kewajiban mengenai keterbukaan dan transparansi atas informasi produk dan jasa keuangan, serta penyempurnaan persyaratan terkait data konsumen dan perlindungan data. Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah disahkan pada Oktober 2022 juga menetapkan persyaratan dalam pengolahan data pribadi konsumen.