Ciputra saat itu yakin bahwa semua pinjaman akan bisa dilunasi tepat waktu.
Keyakinan itu meleset. Pada 1998, rupiah melemah drastis terhadap dolar. Nilai tukar yang semula berkisar Rp 2.000 naik menjadi Rp 2.500, dan dalam waktu singkat melonjak lebih dari lima kali lipat. Akibatnya, utang Grup Jaya membengkak hingga hampir US$ 100 juta.
Baca Juga:
Surat Purnawirawan Gegerkan Senayan, Jokowi: Pemakzulan Ada Syaratnya
"Kami sama sekali tak menduga," ujar Ciputra dalam biografinya The Passion of My Life yang diterbitkan akhir November 2017.
Ketika krisis melanda, Edmund Sutisna yang saat itu menjabat Direktur Pembangunan Jaya, mengatakan bahwa Ciputra memilih membagi tanggung jawab.
Penanganan masalah di Pembangunan Jaya dan Metropolitan diserahkan ke direksi masing-masing.
Baca Juga:
Baru Masuk Sel, Tersangka Cabul Dihajar 7 Tahanan hingga Tewas! Ini Kata Polisi
"Pak Ci konsentrasi menyelesaikan masalah di Grup Ciputra. Dia memberi kepercayaan kepada kami di Grup Jaya untuk menyelesaikan sendiri. Tapi kalau ada masalah kami konsultasikan dengan beliau," tutur Edmund, melansir detikcom.
Perlahan namun pasti, ketiga kelompok usaha Ciputra bangkit kembali. Untuk menutupi utang, ia melepas saham di beberapa perusahaan, termasuk Bumi Serpong Damai (BSD).
Bahkan beberapa unit usaha seperti Bank Ciputra harus ditutup permanen.