“Makanya pada saat itu YLKI mengajak diri dan menetapkan dirinya sebagai konsumen, padahal itu bukan individu. Nah ini contoh yang perlu kita ubah pengertian konsumen yang tidak hanya individu tetapi juga badan atau lembaga itu perlu dimasukkan kategori konsumen,” ujar Inosentius Samsul dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/3/2023).
Kedua, dalam UU 8/1999 sudah mengalami kemajuan dengan menerapkan sistem beban pembuktian terbalik sebagaimana rumusannya dalam Pasal 19 dan Pasal 22. Setidaknya dua rumusan pasal itu bentuk kemajuan dari model tuntutan ganti kerugian.
Baca Juga:
Pimpin Delegasi Indonesia di COP29, Hashim Djojohadikusumo Pikat Pendanaan Hijau EUR 1,2 Miliar untuk Sektor Kelistrikan
Tapi, sedianya Indonesia masih tertinggal dengan praktik yang berjalan di negara Eropa dan kawasan Asean yang sudah menerapkan strict liability atau tanggung jawab mutlak akibat yang ditimbulkan berupa kerusakan.
“Yaitu tidak dikaitkan dengan kesalahan, sepanjang ada konsumen yang dirugikan karena mengkonsumsi atau akibat dari produk yang cacat, maka konsumen dapat mengajukan gugatan, tuntutan ganti kerugian tanpa harus membuktikan adanya unsur kesalahan,” katanya.
Kendatipun penerapan strict liability hanya diperuntukan kasus-kasus tertentu, menurut Inosentius prinsip tersebut perlu diadopsi dalam RUU Perlindungan Konsumen nantinya dengan tanpa mengabaikan prinsip tanggung jawab yang umum sifatnya. Yang pasti, penguatan beban pembuktian terbalik serta prinsip strict liability mesti tetap masuk dalam RUU Perlindungan Konsumen.
Baca Juga:
Dukung Pahlawan Garuda Bertanding, PLN Siapkan Keandalan Pasokan Listrik
Ketiga, memastikan lembaga berkaitan konsumen fokus mengurus kepentingan hak -hak konsumen. Selama ini, terdapat Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Badan Penyelesaian Sengketan Konsumen (BPSK).
Tapi masing-masing lembaga itu jalan sendiri-sendiri. Nah melalui RUU Perlindungan Konsumen nantinya mesti memastikan sebuah lembaga yang mengurus konsumen dapat terkoordinasi dengan baik di bidang penyelesaian sengketa misalnya.
Bahkan UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan pun melahirkan lembaga penyelesaian sengketa konsumen. Nah komunikasi maupun Keempat, terkait dengan BPKN. Inosentius menilai BPKN perlu diperkuat kewenangannya agar tidak sekedar sebatas membuat kajian.