WahanaNews.co | Karena melakukan pencabutan izin, tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit menggugat Bupati Sorong, Papua Barat, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Persoalan hukum ini juga mengungkap problem lain yang lebih luas dan sensitif, yakni hal-hal yang berkenaan dengan eksistensi masyarakat adat.
Alasan Bupati Sorong, Jhon Kamaru, mencabut izin perusahaan sawit itu sebenarnya sederhana. Mereka telah diberi hak guna usaha di lahan milik masyarakat adat. Namun, setelah sekian lama hanya sebagian kecil dari luasan yang diberikan, dimanfaatkan untuk perkebunan. Tanah yang dibiarkan tidak produktif, dinilai tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat adat.
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
"Dengan sendirinya setelah kita melakukan pencabutan, berarti sisa lahan yang ada dengan sendirinya kita kembalikan kepada masyarakat adat, pemilik hak ulayat yang ada," kata John Kamaru, beberapa waktu lalu kepada media, secara daring.
John Kamaru juga mencatat sejak izin diberikan oleh pemerintah daerah periode lama, telah beberapa kali terjadi pergantian manajemen. Namun kegiatan usaha tetap tidak berjalan di lapangan. Pemerintah daerah kemudian melakukan kajian bersama Pemerintah Provinsi Papua Barat dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dari evaluasi yang dilakukan, tidak adanya kegiatan usaha nyata ini membuat masyarakat setempat tak memperoleh manfaat ekonomi.
"Kita cabut demi kelangsungan hidup masyarakat adat di sana, demi kelestarian lingkungan alam, demi kesinambungan pembangunan, demi undang-undang yang ada, demi hak asasi manusia dan berbagai macam pertimbangan," tandas John.
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
Dukungan untuk Bupati
Keputusan Bupati Sorong ini memperoleh dukungan dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Papua Barat, Mamberop Yosephus Rumakiek. Dia menilai, tidak banyak bupati di Papua Barat atau Papua yang berani mengambil keputusan semacam itu.