"Ini wujud konkret bagaimana pergumulan masyarakat adat menghadapi derasnya investasi yang terus masuk ke wilayah masyarakat adat, terutama yang berkaitan dengan hutan," paparnya.
Hutan dalam konteks perempuan adat, kata Frida, sangat penting maknanya. Di dalamnya tersimpan sejumlah hal yang menjadi identitas masyarakat adat.
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
"Hutan bukan sekedar rapatan pohon, karena di dalam hutan itu ada tempat keramat. Di dalam hutan itu ada dusun sagu. Di dalam hutan itu ada nama-nama tempat yang hanya bisa dikenali oleh masyarakat adat dan terperinci oleh marga, yang berkaitan dengan hutan," lanjutnya.
Langkah pemerintah daerah ini diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah pusat dalam melihat kembali kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan hutan. Setiap keputusan terhadap kawasan adat jika tidak melibatkan masyarakat adat, menurut Frida, adalah pelanggaran terstruktur dan sistematis oleh negara. Ke depan, masyarakat adat harus menjadi bagian penting untuk diperhitungkan, ketika wilayah-wilayah adat mereka dijadikan sasaran konversi.
"Ini praktik yang terjadi sejak 10 atau 15 tahun yang lalu, di mana pemerintah daerah memberikan izin kepada perusahaan sebelum bertanya kepada masyarakat adat. Kamu mau tidak, kelapa sawit ini masuk di wilayah adat Anda," kata Silas.
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
Di sejumlah wilayah, menurut pengalaman Silas, masyarakat adat mengatakan tidak pernah menandatangani dokumen apapun terkait pelepasan lahan bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Proses ini jelas tidak demokratis. Perubahan dilakukan, khususnya di Sorong saat ini, karena mereka memiliki Perda 10/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Moi. Aturan lokal ini mengakomodasi prinsip-prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan.
"Pemerintah daerah, perusahaan atau investor yang membutuhkan tanah, harus memberikan penjelasan kepada masyarakat adat, mereka mau atau tidak menerima sebuah program pembangunan. Masyarakat adat berhak menolak, menerima atau mengusulkan bentuk pembangunan yang lain,"jelas Silas.
Di sisi lain, Silas juga percaya masyarakat adat perlu penguatan kapasitas.