"Kami merasa ini sesuatu yang entah lucu atau sangat mengganggu, karena pemerintah yang punya kewenangan bisa digugat. Sudah dijelaskan, izin diberikan dan kemudian penggunaan izin yang diberikan itu terjadi kesalahan sehingga tidak bisa ditoleransi," kata Mamberop memberi alasan
Lebih jauh Mamberop mengatakan, dalam praktik terkait izin dan pelaksanaan izin itu di lapangan, penyimpangan sering terjadi, dan masyarakat adat biasanya menjadi korban. Salah satunya menyangkut luasan kawasan yang dikelola, di mana ketika sebuah perusahaan diberi hak guna seluas tertentu, hutan yang dia babat jauh lebih luas dari jumlah yang tertulis di surat izin.
Baca Juga:
GAPKI Desak Pembentukan Badan Sawit Nasional di Bawah Pemerintahan Prabowo
Hilang Hutan Adat Karena Ekspansi Sawit di Papua
Namun, persoalan juga lebih besar dari itu, karena Papua dan Papua Barat menyandang status otonomi khusus. Presiden Joko Widodo sendiri berkali-kali berpesan agar hutan Papua dijaga terkait status khusus ini. Pada praktiknya, yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang disampaikan presiden.
Baca Juga:
Harga CPO Naik Signifikan, Dorong Pertumbuhan Ekspor Indonesia
"Ini menjadi tugas kita bersama-sama untuk memperjuangkan bersama-sama agar kepemilikan masyarakat adat ini tidak dikuasai sepihak. Apalagi izin-izin konsesi yang ditentukan langsung oleh pemerintah pusat melalui kementerian, tanpa berkoordinasi dengan masyarakat adat atau bahkan pemerintah daerah," lanjut Mamberop.
Ia menambahkan, ada sejumlah perusahaan perkebunan yang tiba-tiba datang ke Papua dan sudah memiliki izin dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah dan masyarakat adat tidak kuasa menolak. Status otonomi khusus pun seolah tidak memberi kewenangan ke daerah, dalam soal semacam ini, meski dengan alasan untuk melindungi masyarakat adat.
Apa yang terjadi di Sorong, diharapkan dapat menjadi contoh bagi kabupaten lain di Papua Barat dan Papua, agar berani mengambil keputusan demi masyarakat adat.