WAHANANEWS.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendorong industri pangan olahan untuk beralih dari penggunaan minyak terhidrogenasi sebagian atau partially hydrogenated oil (PHO), karena dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
PHO merupakan sumber utama asam lemak trans (trans fatty acid/TFA) yang dihasilkan melalui proses hidrogenasi, yaitu mengubah minyak nabati menjadi lemak padat.
Baca Juga:
Kritik Pedas YLKI: Kebijakan Harga Tiket Taman Nasional 100-400% Justru Bunuh Minat Wisatawan
Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo, menjelaskan bahwa PHO banyak digunakan dalam industri pangan untuk menghasilkan makanan yang lebih awet, renyah, dan ekonomis dari segi biaya produksi.
“Pertanyaannya, apakah ada pengganti lemak trans yang tidak memengaruhi biaya produksi secara signifikan? Beberapa negara sudah menemukan teknologi pengganti lemak trans yang tidak berdampak besar pada biaya,” ujar Sudaryatmo saat berkunjung ke Antara Heritage Center di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Secara historis, Sudaryatmo mengatakan bahwa PHO pertama kali digunakan karena surplus produksi minyak kedelai di Amerika Serikat, yang kemudian dipadatkan untuk memperpanjang masa simpannya.
Baca Juga:
Kandungan Pestisida Anggur Shine Muscat Viral, YLKI Tegaskan Pentingnya Pengawasan Ekstra
PHO kemudian dimanfaatkan oleh industri pangan untuk membuat produk lebih awet.
Namun, masalah muncul ketika penggunaannya tidak dikendalikan, sehingga berdampak buruk bagi kesehatan manusia.
Sudaryatmo menekankan bahwa lemak trans dari proses industri bisa meningkatkan kadar kolesterol jahat dan menghambat pertumbuhan kolesterol baik dalam tubuh.
Berdasarkan pertemuan YLKI dengan Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), industri pangan sebenarnya siap jika ada larangan penggunaan PHO. Bahkan, banyak industri telah mempersiapkan peta jalan untuk beralih.
Survei GAPMMI pada 2020 menunjukkan bahwa 75 persen industri hulu sudah memiliki peta jalan transisi dan sedang mengimplementasikannya, sementara di industri hilir, 38 persen sedang dalam tahap implementasi dan 13 persen sudah sepenuhnya beralih.
“Dari sisi bisnis, dampak lemak trans di Indonesia sebenarnya sangat kecil. Menghilangkannya tidak akan mengguncang ekonomi, bahkan bisa menguntungkan karena tidak ada devisa yang keluar,” tambah Sudaryatmo.
Berbeda dengan minyak kedelai, Sudaryatmo menyebutkan bahwa minyak sawit bebas dari kandungan lemak trans, menurut hasil uji yang dilakukan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) bersama IPB.
Namun, belum ada penelitian yang membuktikan apakah minyak sawit bisa menjadi pengganti PHO dalam produk olahan.
Karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan alternatif pengganti PHO.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendorong negara-negara untuk mengadopsi salah satu dari dua pendekatan regulasi guna menghilangkan lemak trans.
Pilihan pertama adalah membatasi kadar lemak trans industri hingga maksimal 2 persen dari total lemak dalam semua makanan. Pilihan kedua adalah melarang penggunaan PHO sebagai sumber lemak trans industri.
YLKI menilai bahwa Indonesia perlu memiliki regulasi pembatasan lemak trans pada pangan olahan.
Selain itu, YLKI juga menekankan pentingnya aturan yang mewajibkan pencantuman kadar lemak trans pada label produk pangan, sehingga konsumen mendapatkan informasi yang transparan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]