WahanaNews.co, Jakarta - Meningkatnya ketegangan geopolitik setelah Iran melancarkan serangan balasan ke Israel membuat khawatir akan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu meramal defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) bisa lebih besar alias boncos hingga rantai pasok akan terganggu jika ketegangan ini berlanjut.
Baca Juga:
680 Liter Pertalite Diamankan, Sat Reskrim Polres Subulussalam Tangkap Seorang Pria Diduga Lakukan Penyalahgunaan BBM
Eks Menteri Perdagangan Indonesia periode 2004-2011 itu mengatakan apabila Israel membalas serangan Iran, maka perekonomian dunia akan terganggu, termasuk ke Indonesia. Besaran dampaknya tergantung pada bagaimana cara pembalasan yang direncanakan Israel.
"Nah, untuk Indonesia apa pengaruhnya? Rantai pasok melalui Suez kanal akan mengalami gangguan, sehingga ada gangguan terhadap input kita, apakah itu minyak, gandum maupun produk dari Eropa yang lainnya," ujarnya dalam Diskusi Perkumpulan Alumni Eisenhower Fellowships Indonesia, Senin (15/4/2024) silam.
Selain itu, harga minyak diperkirakan akan meningkat terutama jika Amerika Serikat (AS) yang selama ini mendukung Israel, memberikan sanksi ke minyak Iran, maka kenaikan harga tak bisa dihindari. Dampaknya juga akan terasa ke dalam negeri.
Baca Juga:
Pertamina Patra Niaga Tindak Tegas SPBU Nakal
"Di luar itu, gejolak harga minyak, inflasi dan gejolak harga komoditi yang lain juga akan mempengaruhi Indonesia," imbuhnya.
Bila terjadi kenaikan harga minyak, maka akan ikut berdampak pada perubahan APBN 2024, terutama dari sisi belanja dan defisit. Sebab, kenaikan harga minyak bisa menyebabkan kenaikan harga BBM bersubsidi atau menambah anggaran subsidi.
"Dengan harga minyak, tentunya masalah kepada anggaran dan fiskal ya. Defisit anggaran dan fiskal, karena kalau harga naik, tentunya subsidi BBM juga akan naik, kecuali harga BBM-nya mau dinaikkan," kata dia.
Selain itu, nilai tukar rupiah yang saat ini sangat tertekan dan sempat tembus di atas Rp16 ribu per dolar AS, bisa terdepresiasi lebih dalam lagi. Begitu juga dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa terbakar.
Mantan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar ikut bicara soal dampak serangan Iran kepada Israel terhadap harga energi.
Ia menjelaskan konflik di Timur Tengah membuka peluang terhadap kenaikan harga minyak. Maklum, wilayah tersebut merupakan salah satu eksportir terbesar minyak mentah dunia.
Kendati demikian, menteri ESDM era pemerintahan Presiden Jokowi itu belum bisa memprediksi berapa kenaikan harga minyak tersebut.
Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi ESDM Tutuka Ariadji mewanti-wanti rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) naik hingga US$10 per barel buntut serangan Iran terhadap Israel. Oleh karena itu, ia pun memprediksi harga ICP bisa tembus ke level US$100 per barel.
Tutuka menjelaskan ketegangan geopolitik bisa kian memperkeruh rantai pasok. Apalagi, Indonesia merupakan importir minyak mentah.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P. Sasmita berpendapat dampak jika terjadi perang antara Iran dan Israel akan sangat besar.
Tak hanya dampak terhadap ekonomi global akibat pasokan minyak dunia dari Timur Tengah yang mandek, terutama dari Selat Hormuz dan Laut Mediterania, tetapi juga dampak terhadap geopolitik.
Menurutnya, perang kedua negara itu akan membelah dunia menjadi dua kubu. Pasalnya, kedua negara akan menjadi proksi geopolitik dari dua kubu yang sejak lama sulit untuk akur. Karena itu, banyak yang menyebut potensi perang dunia ketiga ada di balik terjadinya perang di antara kedua negara itu.
"Jika itu sampai terjadi, ekonomi dunia yang memang sudah sulit akan semakin sulit. Tentu imbasnya ke Indonesia akan bertambah besar, baik dari sisi ekspor maupun dari sisi kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar," jelas Ronny dilansir CNNIndonesia, Selasa (16/4/2024).
"Semuanya sangat berpotensi menekan performa ekonomi kita ke zona kontraktif," sambungnya.
Lebih lanjut, Ronny menjelaskan perang yang berimbas terhadap kenaikan harga minyak dunia bakal berdampak terhadap sejumlah hal.
Panasnya tensi Iran vs Israel akan memaksa pemerintah untuk menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri dengan mengurangi subsidi alias menaikkan harga jual.
Hal ini berisiko menaikkan inflasi. Jika inflasi meningkat, maka suku bunga akan berpotensi naik untuk menekan peredaran uang agar harga-harga kembali stabil.
Ronny menjelaskan kenaikan harga minyak dunia juga berpotensi membawa rupiah semakin tertekan. Sebab, ekspektasi terhadap ekonomi domestik semakin menurun di satu sisi dan penguatan dolar di sisi lain.
Alhasil, inflasi akan semakin menjadi-jadi karena biaya impor bahan baku dan bahan baku penolong semakin mahal, yang membuat biaya produksi barang berbasis bahan baku impor semakin naik, yang kemudian diikuti harga jual barang yang ikut melangit.
"Ujungnya, pertumbuhan ekonomi akan sangat tertekan, lalu pengangguran dan kemiskinan akan meningkat, yang kemudian semakin menekan konsumsi dan semakin menjatuhkan performa pertumbuhan ekonomi nasional," jelas Ronny.
Di sisi lain, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho belum melihat serangan yang dilancarkan Iran terhadap Israel bakal berdampak besar, apalagi sampai ke peningkatan harga minyak. Pasalnya, serangan tersebut belum tentu dibalas oleh Israel.
Andry menjelaskan Iran memang pengekspor minyak, tetapi tidak ada minyak yang dijual ke Indonesia. Data melaporkan Indonesia banyak mengimpor minyak dari Arab Saudi. Hal inilah yang patut diwaspadai.
"Jadi yang patut kita waspadai itu adalah minyak mentahnya sendiri, dari Arab Saudi, LPG (dari) Qatar. Kenapa? Karena wilayah ini terhubung satu dengan yang lain dengan Selat Hormuz. Selat Hormuz ini merepresentasikan seperlima dari global oil supply. Dan tentunya eskalasi itu tidak hanya berhenti di sini saja," jelas dia.
"Artinya, kalau misalnya Israel menyerang Iran, yang terganggu itu (pertama) di selat ini, yang kedua adalah di Red Sea, di Laut Merah," sambungnya.
Ia menjelaskan konflik di Laut Merah sebenarnya sudah bergejolak sejak Februari silam, di mana milisi dari Iran mengganggu kapal barang negara-negara G7 dan aliansi Israel untuk masuk ke Terusan Suez yang menghubungkan Laut Mediterania serta Laut Merah.
Menurut Andry, jika eskalasi ini semakin besar, Laut Merah akan menjadi kawasan yang akan berkonflik. Ia menyimpulkan setidaknya ada beberapa hal yang bisa berdampak pada ekonomi Indonesia.
Pertama, harga minyak. Kedua, disrupsi pasokan minyak. Ketiga, perdagangan global yang tentu akan mempengaruhi perdagangan dalam negeri. Pasalnya, beberapa kargo akan tertahan hingga tak bisa masuk ke Laut Merah.
"Otomatis biaya pengiriman itu pasti akan semakin meningkat. Itu juga akan menjadi biaya bagi perdagangan secara keseluruhan," jelas dia.
"Jadi harga minyak tadi akan naik, terus habis itu kita melihat bahwa pasokan minyak itu misalnya dari Arab Saudi sulit untuk keluar, itu jadi double kenaikannya, ditambah untuk ngimpornya sendiri juga mahal, karena tadi ada disrupsi perdagangan," imbuhnya.
Ia pun melihat konflik geopolitik juga berdampak pada fiskal. Menurutnya, risiko fiskal inilah yang membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani mengadakan pertemuan mendadak untuk membahas masalah ini.
"Dan saya melihat bahwa persinya dari subsidi BBM yang pertama, yang kedua adalah dana kompensasi subsidi energi ya, termasuk BBM dan juga LPG, tarif dasar listrik itu lewat dana kompensasi," jelas Andry.
Ia juga memprediksi penyaluran bantuan sosial (bansos) bakal meningkat jika perang terjadi. Kalau tidak, katanya, daya beli masyarakat tentu akan menurun imbas harga yang serba naik. Sementara inflasi kini juga cukup tinggi. Hal ini, menurutnya, akan diantisipasi melalui bansos.
Sektor industri juga bakal terpukul jika perang pecah. Andry menjelaskan jika harga BBM naik, inflasi ikut meningkat yang akan menggerus daya beli. Dalam hal ini, industri juga akan kehilangan pasar, membuat mereka kesulitan untuk menjual. Tentu ini juga dapat membuat harga impor bahan baku dan juga barang modal semakin mahal.
"Jadi industri akan ke-hit dari sisi suplai dan juga dari sisi demand. Kurang lebih seperti itu," pungkasnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]