WahanaNews.co | Sekarang ini sedang viral soal PLN yang menagih biaya sebesar Rp 74 juta pada warga Banjar Sekaan Undisan, Bangli, Bali bernama I Komang Suparta.
Ia menginginkan tiang dan gardu listrik PLN yang berada di lahannya dipindah karena hendak membangun garasi mobil.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Dalam surat jawaban atas permohonan Suparta, PLN Unit Layanan Pelanggan (ULP) Bangli mengatakan biaya Rp 74 juta untuk pergantian biaya jasa dan material, biaya pemadaman, dan PPN.
“Mengingat biaya operasi tidak tersedia untuk pekerjaan tersebut, maka semua biaya ditanggung oleh pemohon,” bunyi surat yang ditandatangani Manajer ULP Bangli, Dewa Ayu Nancy Cahyani.
Manajer Komunikasi PLN UID Bali, I Made Arya menjelaskan biaya tersebut harus ditanggung pemohon karena pembangunan tiang dan gardu listrik di lahan rumahnya dikerjakan oleh pihak ketiga.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
“Karena yang mengerjakan itu bukan PLN, melainkan pihak ketiga atau mitranya PLN,” kata Arya kepada wartawan pada Selasa (7/6).
“Biaya tersebut sudah dikurangi bantuan bahan material dari PLN seperti kabel listrik untuk instalasi gardu”.
Sebenarnya, pemerintah telah mengatur terkait infrastruktur kelistrikan di masyarakat melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Dalam beleid tersebut, seharusnya warga mendapatkan kompensasi atas infrastruktur kelistrikan umum yang berdiri di lahan miliknya dengan beberapa syarat.
Bab IX Pasal 30 UU Ketenagalistrikan, angka (1) menyebutkan bahwa “Penggunaan tanah oleh pemegang izin usaha penyedian tenaga listrik untuk melaksanakan haknya dilakukan dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan, dan tanaman sesuai ketentuan perundang-undangan”.
Dalam angka (2) disebutkan bahwa “ganti rugi hak atas tanah diberikan untuk tanah yang dipergunakan secara langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atas tanah”.
“Kompensasi diberikan atas penggunaan tanah secara tidak langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik,” tulis pasal 30 angka (3) UU 30/2009.
Meski demikian, pasal 31 menyebutkan bahwa kewajiban untuk memberi ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi ini tidak berlaku terhadap setiap orang yang sengaja mendirikan bangunan, menanam tanaman, dan lain-lain di atas tanah yang sudah memiliki zin lokasi untuk usaha penyediaan tenaga listrik, dan sudah diberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi.
PLN UID Bali menyebut bahwa jaringan tiang dan gardu listrik yang berdiri lahan Suparta dulunya dibangun ketika di daerah tersebut masih berupa pedesaan yang penuh lahan kosong. PLN pun telah mendapatkan izin dari aparatur desa untuk membangun jaringan kelistrikan.
“Ketika itu PLN melibatkan aparatur desa untuk meminta izin secara kolektif, bukan person to person karena dulu itu lahan kosong pedesaan, belum ada rumah,” kata Manajer Komunikasi PLN UID Bali, I Made Arya.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2018 tentang Kompensasi Atas Tanah, Bangunan, dan/atau Tanaman yang Berada di Bawah Ruang Bebas Jaringan Transmisi Tenaga Listrik, jaringan tenaga listrik yang dimaksud adalah yang bertegangan di atas 35.000 volt atau 35 kilovolt (kV).
Sementara PLN menyebut infrastruktur listrik yang berada di lahan Suparta termasuk Jaringan Tegangan Menengah (JTM) yang memiliki tegangan 20 kV. [qnt]