WahanaNews.co, Jakarta - Industri hilir kelapa sawit memiliki komitmen untuk berkontribusi pada upaya global pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) menuju Net Zero Emission (NZE).
Predikat industri rendah emisi menjadi bagian dari penentu akses pasar produk industri hilir kelapa sawit, sejalan dengan perubahan tren konsumen global.
Baca Juga:
Produk Hilir Sawit Capai 193 jenis, Ekspornya Tembus Rp 450 Triliun
Salah satu perubahan tren konsumsi global adalah kecenderungan memilih green products yang dihasilkan dari green industry, ditandai dengan proses produksi yang responsible, sustainable, dan traceable.
Aspek sustainability pada industri hilir kelapa sawit dimaknai meluas dari produk yang berwawasan lingkungan, menjadi responsibility terhadap emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sepanjang rantai pasok produknya.
“Ke depan, kami memprediksi bahwa aspek bangkitan emisi GRK dari proses produksi industri hilir kelapa sawit juga akan menjadi pertimbangan konsumen untuk memilih produk hilir kelapa sawit dengan net emission index yang rendah,” ujar Direktur Jenderal Industri Agro, Putu Juli Ardika, dalam sambutannya saat mewakili Menteri Perindustrian pada Pekan Riset Sawit Indonesia (PERISAI) 2023 di Surabaya, Rabu (25/10).
Baca Juga:
Respons Proposal Investasi Apple USD 100 Juta, Kemenperin Gerak Cepat
Sebagai induk industri kelapa sawit, industri agro tercatat tumbuh 3,90% pada Triwulan II – 2023 (year on year) dengan kontribusi terhadap PDB sektor non-migas mencapai 50,87%.
Sementara, industri kelapa sawit sendiri menduduki peringkat pertama dalam kontribusi pertumbuhan sektor industri agro, sehingga Pemerintah menempatkan industri kelapa sawit sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional.
Hilirisasi industri kelapa sawit tetap menjadi tema besar dalam kebijakan pengembangan sektor perkelapasawitan, dengan indikator pencapaian berupa jumlah ragam jenis produk hilir dan rasio volume ekspor bahan baku CPO/CPKO berbanding dengan produk olahan (processed palm oil).
“Saat ini kami mencatat terdapat sekitar 179 ragam jenis produk hilir sawit dan sekitar 90% volume ekspor berupa produk hilir. Hanya sekitar 10% volume ekspor berupa bahan baku CPO/CPKO,” lanjut Putu.
Indonesia sebagai negara produsen terbesar komoditas kelapa sawit berpeluang menjadi champion pada program dekarbonisasi melalui strategi konkret peningkatan penggunaan produk hilir sawit secara massif di dalam negeri.
Hal itu juga berfungsi sebagai wahana demand management untuk menjaga harga CPO internasional dan mempertahankan harga jual tandan buah segar (TBS) di tingkat petani rakyat atau smallholder pada tingkat yang remuneratif. Program mandatory biodiesel pada delapan tahun terakhir yang saat ini sebesar 35% (B35) adalah contoh konkretnya.
“Oleh karena itu, kami mengharapkan para pelaku usaha industri dapat berkolaborasi dengan para pelaku riset/inovasi pengembang teknologi dalam negeri untuk mengkomunikasikan benefit program hilirisasi industri, termasuk program mandatory biodiesel 35% (B35) ini terhadap upaya dekarbonisasi nasional. Hal ini untuk mendukung aspek pro-environment pada industri hilir kelapa sawit,” tandas Putu. Demikian dilansir dari laman kemenperingoid, Sabtu (28/10).
[Redaktur: JP Sianturi]