WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memberlakukan tarif bea masuk sebesar 32% untuk produk-produk impor dari Indonesia mulai menimbulkan efek domino yang mengkhawatirkan.
Salah satu sektor paling terdampak adalah industri furnitur nasional yang selama ini sangat bergantung pada pasar ekspor, terutama Amerika Serikat.
Baca Juga:
AS Tekan 14 Negara Lewat Surat Tarif: Trump Minta Kesepakatan Sebelum 1 Agustus
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, mengingatkan bahwa lonjakan tarif tersebut bisa mengancam keberlangsungan ratusan ribu tenaga kerja.
"Berdasarkan simulasi internal HIMKI, jika tidak ada langkah mitigasi yang nyata, maka potensi 270 ribu tenaga kerja bisa terancam kehilangan pekerjaan secara bertahap," ujarnya, Selasa (15/7/2025).
Sobur menjelaskan bahwa tarif tambahan akan menyebabkan harga jual produk mebel Indonesia di pasar AS melonjak 20-35%.
Baca Juga:
Trump Ancam Terapkan Tarif 200 Persen untuk Obat Impor, Produsen Tertekan
Misalnya, kursi kayu yang sebelumnya dijual seharga USD 100 per unit, kini harus dijual USD 120 hingga USD 135.
"Kenaikan harga ini tentu akan menekan permintaan. Buyer AS yang sangat sensitif pada harga akan mudah beralih ke negara pesaing," tambahnya.
Penurunan minat dari buyer AS sudah mulai terasa. HIMKI mencatat penurunan pesanan dari sentra-sentra produksi utama seperti Jepara, Pasuruan, Cirebon, dan Sukoharjo yang mencapai 20-30% dibandingkan tahun lalu.
"Saat ini, permintaan dari buyer AS sudah mulai melemah," kata Sobur.
Beberapa pabrik skala kecil dan menengah mulai melakukan efisiensi dengan mengurangi jam kerja bahkan merumahkan sebagian tenaga kerja.
Situasi ini berpotensi berkembang menjadi gelombang PHK massal jika tidak ditangani dengan serius.
Meskipun begitu, pelaku industri tidak tinggal diam. HIMKI bersama para anggotanya tengah mendorong berbagai strategi mitigasi, termasuk diplomasi perdagangan dan langkah diversifikasi produk ke segmen yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dan tidak terlalu sensitif terhadap tarif, seperti produk custom, barang mewah, dan furnitur berbahan baku berkelanjutan.
"Kami juga mendorong kebijakan insentif di dalam negeri, seperti keringanan pajak, pembiayaan murah, dan stimulus pembelian dalam negeri untuk menjaga produksi tetap berputar," ucap Sobur.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa Indonesia mendapat penundaan penerapan tarif dari AS selama tiga minggu setelah negosiasi dengan US Secretariat of Commerce Howard Lutnik dan US Trade Representative Jamieson Greer. Pertemuan itu berlangsung pada 9 Juli 2025.
"Jadi pertama tambahan 10% (anggota BRICS) itu tidak ada. Yang kedua waktunya adalah kita sebut pause, jadi penundaan penerapan untuk menyelesaikan perundingan yang sudah ada," jelas Airlangga saat berada di Brussels, Belgia.
Airlangga mengatakan bahwa dalam masa tenggat tiga minggu tersebut, pemerintah Indonesia akan memfinalisasi berbagai proposal yang telah dipertukarkan dalam negosiasi.
"Fine tuning daripada proposal dan fine tuning daripada apa yang sudah dipertukarkan," imbuhnya.
Kini industri furnitur Indonesia berada dalam situasi genting, menunggu hasil perundingan diplomatik yang menentukan nasib ribuan tenaga kerja di sektor ekspor.
Jika upaya negosiasi tak membuahkan hasil, maka ancaman krisis industri bisa menjadi kenyataan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]