Faisal mengakui, hilirisasi memang kebijakan yang berorientasi pada jangka panjang. Jika pemerintah terus menggeber surplus neraca perdagangan dengan mengekspor barang mentah, kata Faisal maka Indonesia akan kehilangan daya tawar dan kesempatan emasnya untuk menjadi negara besar di masa depan.
Disebutkan hilirisasi merupakan upaya negara untuk mendongkrak ekonominya dengan memberikan nilai tambah atas suatu komoditas.
Baca Juga:
KPK Akan Panggil Sejumlah Pejabat Bea Cukai Terkait LHKPN
Faisal mencontohkan, Ketika Indonesia berkomitmen untuk mengoptimalkan hilirisasi nikel, maka pemerintah praktis melarang ekspor nikel dalam bentuk barang mentah (raw material).
“Apakah kita ingin mendapat keuntungan sesaat tapi nilainya kecil atau keuntungan jangka panjang dengan nilai yang lebih besar. Hilirisasi mungkin membuat kita rugi jangka pendek karena ada ekspor yang tereduksi. Tapi, jangka panjangnya, kita akan punya produk dengan nilai tambah yang lebih besar. Kalau kalkulasi dagang, hilirisasi akan jauh lebih untung daripada jual barang mentah,” jelas ekonom yang meraih gelar doktor dari Universitas Queensland ini.
Lebih lanjut Faisal mengatakan, jika hilirisasi ditunda dengan alasan supaya bisa ekspor raw material, bukanlah hal yang baik. Karena sumber dayanya akan habis.
Baca Juga:
Apresiasi Eksportir Indonesia, Kemendag Kembali Berikan Penghargaan Primaniyarta
Semakin banyak yang diekspor barang mentah, semakin sedikit merasakan nilai manfaatnya. Secara kuantitas dan peluang investor datang akan semakin kecil, karena hilirisasi jadi tidak menarik lagi.
Dia juga mengakui adanya resistensi dari beberapa negara yang menolak kebijakan hilirisasi. Oleh karena itu, sebagai alumni Institut Teknologi Bandung, Faisal mengemukakan dua saran agar kebijakan hilirisasi tidak merugikan neraca perdagangan.
Pertama, ia menyarankan pemerintah untuk menentukan sektor hilirisasi yang menjadi prioritas. Menurut Faisal, Indonesia memiliki berbagai potensi hilirisasi, seperti di sektor energi, perikanan, pertanian, dan kehutanan.