WahanaNews.co | Baru-baru ini istilah upselling jadi sorotan usai keluhan konsumen sebuah gerai donat viral di media sosial. Si pembeli kesal lantaran harus membayar lebih dari yang dia perkirakan.
Mulanya, dia berniat membeli 1 lusin donat, namun akhirnya harus membayar lebih untuk paket 1 lusin ditambah 5 pastry. Ia mengira pastry sebagai bonus, karena penjual tidak menginformasikan biaya tambahan.
Baca Juga:
Mudahkan Pelanggan Bayar Listrik, PLN Mobile Jalin Kolaborasi dengan MotionPay
Konsumen lainnya yang mengaku sebagai 'korban' upselling pun bermunculan di media sosial. Tidak hanya terjadi di bisnis food and beverages, upselling kerap ditemukan di klinik atau salon kecantikan. Mereka merasa terjebak begitu ditawari paket tertentu, tanpa informasi yang jelas.
Nah, sebenarnya, apa sih upselling itu?
Mengutip Detikcom, upselling adalah strategi membujuk pelanggan agar membeli produk serupa dengan spesifikasi dan fitur yang lebih tinggi. Teknik upselling merupakan cara untuk mendorong pembelian apapun, sebagai pembelian tambahan kepada pelanggan menjadi lebih mahal dengan opsi peningkatan (upgrade) atau premium.
Baca Juga:
Wamendag Roro Serahkan Penghargaan Perlindungan Konsumen 2024 kepada Para Kepala Daerah
Chairman MarkPlus yang juga pakar marketing Hermawan Kartajaya mengatakan praktik upselling sebenarnya sah-sah saja dilakukan dalam dunia marketing. Ia menekankan dalam upselling, penjual tidak boleh memaksa pembeli untuk membeli produk. Penjual harus menjelaskan dengan gamblang produk tambahan yang ditawarkan dalam upselling.
"Biasanya upselling itu tidak memaksa. Upselling itu sah saja, boleh saja. Tapi orang (konsumen) harus dikasih pertimbangan," kata Hermawan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/5).
Ia mengatakan jika penjual atau karyawan sebuah toko melakukan pemaksaan biasanya itu terjadi lantaran mengejar target penjualan. Namun, tetap saja pemaksaan tidak boleh dilakukan dalam upselling.
Hermawan mengatakan tidak ada aturan terkait praktek upselling dalam dunia pemasaran. Namun, ia menyebut upselling menjadi salah jika dilakukan dengan menipu konsumen.
"Upselling sah dilakukan jika baik dan benar, tapi konsumen jangan dibujuk dan harus diterangkan apa keuntungan upselling," kata Hermawan.
Senada, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno mengatakan upselling merupakan salah satu strategi marketing dan tidak melanggar ketentuan. Namun, dalam proses upselling tidak boleh ada paksaan terhadap konsumen. Pelaku usaha wajib jujur dalam memberikan informasi terhadap produk yang ditawarkan.
"Permasalahan acapkali muncul karena misleading informasi atau informasi yang sengaja dibatasi untuk menjebak konsumen membeli produk mereka. Termasuk informasi dari konsekuensi harga," kata Agus.
Menurut Agus, jika produk yang ditawarkan memang tidak sesuai kebutuhan, maka konsumen berhak menolak. Konsumen bisa mengatakan barang yang ditawarkan bukan merupakan kebutuhannya saat ini.
"Konsumen juga berhak mendapatkan informasi secara detil tentang plus minus membeli produk tersebut termasuk informasi harga secara detil," kata Agus. [eta]