Sesuai ketentuan, perbankan juga harus mendapatkan jaminan atau agunan dari perusahaan pertambangan yang berniat meminjam dana.
Jika ditemukan indikasi pelanggaran hukum, maka penegak hukum seperti KPK maupun Kejaksaan harus turun tangan.
Baca Juga:
Ratu Batu Bara Tan Paulin Diperiksa KPK di Kasus Rita Widyasari
UU Perbankan mengatur prudencial banking dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, di mana ancaman pidananya minimal 3 tahun dan maksimal 8 tahun (penjara) dan denda maksimum Rp 100 miliar," ujar Eva.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sebenarnya telah memberikan 12 kategori kegiatan usaha berkelanjutan yang menjadi acuan LJK (Lembaga Jasa Keuangan) untuk melakukan pembiayaan.
"Namun memang belum ada sanksi ataupun insentif yang diberikan kepada LJK. Perlu adanya pengawasan serta review (sanksi dan insentif) jika ingin pembiayaan berkelanjutan dapat benar-benar berjalan," kata pengamat perbankan Deni Daruri, seperti dikutip media.
Baca Juga:
KPK Ungkap Eks Bupati Kukar Dapat US$5 per Matrik Ton dari Perusahaan Batu Bara
Pegiat anti korupsi Sumsel yang juga Koordinator K MAKI Bony Balitong mengatakan ia menerima info dari kalangan pengusaha mengenai jumlah tunggakan sebuah perusahaan tambang di bank pemerintah mencapai Rp 17 triliun.
“Patut dipertanyakan fungsi pengawasan OJK terkait mega kredit ini yang berpotensi menciptakan kekacauan perbankan nasional”, jelas Bony Balitong.
Disamping masalah kredit pembiayaan eksploitasi batubara yang berpotensi kridit macet, kisruh batubara Sumsel juga terkait adanya dugaan perampasan lahan tambang rakyat oleh pengusaha tambang bekerjasama dengan oknum aparat.