WahanaNews.co | Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) memutuskan langkah strategis dengan memborong emas besar-besaran terhitung sejak November lalu.
Kebijakan itu jadi salah satu pemicu meroketnya harga emas belakangan ini.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Usulkan Two-State Solution untuk Akhiri Konflik Gaza dalam Pertemuan dengan AS
World Gold Council (WGC) pada Jumat (6/1/2023) melaporkan PBoC memborong emas sebanyak 32 ton pada November 2022. Pembelian ini menjadi yang pertama kali sejak September 2019 atau lebih dari tiga tahun lalu.
Kemudian pada akhir pekan lalu, PBoC mengumumkan pembelian emas sebesar 30 ton pada Desember 2022. Dengan demikian, dalam dua bulan PBoC memborong 62 ton emas.
idak hanya China, bank sentral lainnya juga memborong emas pada tahun lalu. WGC melaporkan jumlah pembelian tersebut menjadi yang terbesar dalam 55 tahun terakhir.
Baca Juga:
Gagal Menyentuh Pemilih, Harris Kalah Telak Meski Kampanye Penuh Serangan ke Trump
Kepala riset BullionVault, Andrian Ash mengatakan Amerika Serikat (AS) dan sekutu yang membekukan cadangan devisa Rusia dalam bentuk dolar AS menjadi salah satu pemicu bank sentral kembali memborong emas.
"Langkah bank sentral kembali ke emas menunjukkan latar belakang geopolitik saat ini adalah ketidakpercayaan, keraguan dan ketidakpastian setelah Amerika Serikat dan sekutu membekukan cadangan devisa Rusia dalam bentuk dolar," kata Ash sebagaimana dikutip Financial Times, Kamis (29/1/2022).
Seperti diketahui, perang membuat Rusia diberikan banyak sanksi, termasuk pembekuan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri.
Cadangan devisa Rusia saat itu sebesar US$ 643 miliar, yang sebagian besar ditempatkan di bank sentral AS, Eropa dan China dengan estimasi sekitar US$ 492 miliar, melansir Forbes.
Langkah Amerika Serikat dan sekutu tersebut membuat banyak bank sentral perlahan mulai "membuang" dolar AS. Sebab, jika bersitegang dengan pihak Barat, tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan menimpa.
Selain Rusia, China memang kerap kali bersitegang dengan Negeri Paman Sam.
"Pesan yang diberikan oleh bank sentral dengan membeli banyak emas adalah mereka tidak mau tergantung dengan dolar AS sebagai aset utama dalam cadangan devisa," kata Carsten Menke, head of next generation research di Julius Baer.
Sementara itu Bernard Dahdah, analis komoditas senior di Natixis mengatakan deglobalisasi dan ketegangan geopolitik membuat bank sentral di luar Barat akan terus mendiversifikasi cadangan devisanya dan semakin mengurangi dolar AS, tren tersebut diperkirakan tidak akan berubah setidaknya satu dekade ke depan.
Dolar AS memang sangat dominan di dunia, menjadi mata uang yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internasional. Harga aset juga mayoritas dipatok dengan the greenback.
Berdasarkan data dari Atlantic Council yang mengutip data dari bank sentral AS (Federal Reserve/The) pada periode 1999-2019, penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional di wilayah Amerika Utara dan Selatan mencapai 96,4%. Kemudian di Asia Pasifiknilainya mencapai 74%.
Porsi penggunaan dolar AS hanya lebih kecil di Eropa yakni 23,1% saja. Maklum saja, Eropa memiliki mata uang tunggal yakni euro yang kontribusinya terhadap perdagangan ekspor impor di Eropa mencapai 66,1%.
Di sisa dunia lainnya, penggunaan dolar AS mencapai 79,1%. Belum lagi melihat porsinya di cadangan devisa global yang hampir 60%, terlihat jelas bagaimana dominasi dolar AS di dunia finansial.
Peran vital dolar AS di dunia finansial global membuat Amerika Serikat disebut mendapat "hak istimewa setinggi langit" oleh Menteri Keuangan Prancis, Valéry Giscard d'Estaing pada 1965.
Dolar AS yang sangat dominan di dunia ini memberikan keuntungan yang besar bagi Negeri Adidaya. Obligasi pemerintah AS akan selalu ada peminatnya, bahkan bisa diterbitkan dengan kupon yang rendah.
Melansir CNBCIndonesia, Aliran modal yang besar ke Amerika Serikat bisa menambal defisit transaksi berjalan dan anggaran secara terus menerus. Selain itu, dengan vitalnya posisi dolar AS tersebut, banyak yang mengatakan Amerika Serikat menggunakannya sebagai senjata untuk menekan negara lain. Bahkan bisa digunakan untuk merusak perekonomian suatu negara.
Maka, tidak heran jika banyak bank sentral yang mulai mengurangi porsi dolar AS dalam cadangan devisa mereka. [rna]