Cadangan devisa Rusia saat itu sebesar US$ 643 miliar, yang sebagian besar ditempatkan di bank sentral AS, Eropa dan China dengan estimasi sekitar US$ 492 miliar, melansir Forbes.
Langkah Amerika Serikat dan sekutu tersebut membuat banyak bank sentral perlahan mulai "membuang" dolar AS. Sebab, jika bersitegang dengan pihak Barat, tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan menimpa.
Baca Juga:
Presiden Prabowo Usulkan Two-State Solution untuk Akhiri Konflik Gaza dalam Pertemuan dengan AS
Selain Rusia, China memang kerap kali bersitegang dengan Negeri Paman Sam.
"Pesan yang diberikan oleh bank sentral dengan membeli banyak emas adalah mereka tidak mau tergantung dengan dolar AS sebagai aset utama dalam cadangan devisa," kata Carsten Menke, head of next generation research di Julius Baer.
Sementara itu Bernard Dahdah, analis komoditas senior di Natixis mengatakan deglobalisasi dan ketegangan geopolitik membuat bank sentral di luar Barat akan terus mendiversifikasi cadangan devisanya dan semakin mengurangi dolar AS, tren tersebut diperkirakan tidak akan berubah setidaknya satu dekade ke depan.
Baca Juga:
Gagal Menyentuh Pemilih, Harris Kalah Telak Meski Kampanye Penuh Serangan ke Trump
Dolar AS memang sangat dominan di dunia, menjadi mata uang yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internasional. Harga aset juga mayoritas dipatok dengan the greenback.
Berdasarkan data dari Atlantic Council yang mengutip data dari bank sentral AS (Federal Reserve/The) pada periode 1999-2019, penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional di wilayah Amerika Utara dan Selatan mencapai 96,4%. Kemudian di Asia Pasifiknilainya mencapai 74%.
Porsi penggunaan dolar AS hanya lebih kecil di Eropa yakni 23,1% saja. Maklum saja, Eropa memiliki mata uang tunggal yakni euro yang kontribusinya terhadap perdagangan ekspor impor di Eropa mencapai 66,1%.