QRIS menjadi salah satu titik kritik utama USTR, yang menilai sistem pembayaran digital tersebut tidak cukup melibatkan penyedia jasa pembayaran dan bank asing, termasuk dari AS.
Namun, Reza menampik tudingan itu dan menegaskan bahwa penggunaan QRIS bukan keputusan sepihak Indonesia.
Baca Juga:
Benarkah AS Tak Lagi Adidaya? Ini 3 Penyebab Runtuhnya Amerika Versi Warganya Sendiri
“QRIS adalah hasil kesepakatan negara-negara ASEAN dalam kerangka ASEAN Economic Community. Pemerintah tak bisa memaksa pelaku usaha meninggalkannya, karena mereka sudah memahami efisiensi dan mekanisme pembayaran internasional,” tuturnya.
Ia menambahkan, mengubah sistem yang sudah berjalan baik justru berpotensi merusak kenyamanan dan efisiensi dunia usaha nasional.
Dalam laporan yang sama, USTR juga menyinggung soal keberadaan barang bajakan di kawasan perdagangan seperti Mangga Dua, Jakarta.
Baca Juga:
Teror Drone Kamikaze Guncang Pangkalan Irak, Siapa Dalangnya?
"Kalau ada keluhan soal barang bajakan, seharusnya disertai dengan data intelijen ekonomi yang akurat agar bisa ditindaklanjuti," kata Reza.
Selain itu, AS mengkritik Indonesia yang disebut hanya satu kali menyampaikan notifikasi subsidi sejak menjadi anggota WTO pada 1995.
Padahal, menurut Reza, sistem subsidi yang diterapkan Indonesia telah sesuai dengan prinsip-prinsip World Trade Organization (WTO).