WahanaNews.co | Industri hasil tembakau (IHT) merupakan sektor penyumbang penerimaan negara terbesar lewat cukai. Kontribusi ini diperkuat melalui keberhasilan menyerap banyak tenaga kerja.
Dalam mendukung, mengembangkan, dan meningkatkan daya saing industri kecil menengah (IKM) pada sektor hasil tembakau, pemerintah membentuk kawasan industri hasil tembakau (KIHT) sesuai yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 21/PMK.04/2020 tentang Kawasan Industri Hasil Tembakau.
Baca Juga:
Pemerintah Dukung Peningkatan Ekspor dan Hilirisasi Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan
Pada saat aturan ini diberlakukan, pemerintah telah menetapkan dua wilayah sebagai KIHT, yaitu di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Seiring berjalannya waktu dan berdasarkan hasil monitoring, aturan tersebut dianggap belum mampu memenuhi kebutuhan di lapangan.
Oleh karena itu, pemerintah menerbitkan aturan baru yang diatur dalam PMK nomor 22 tahun 2023 tentang Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau yang mulai berlaku sejak 14 Maret 2023 dan mencabut PMK nomor 21 tahun 2020.
Baca Juga:
Industri Kelapa Sawit Berperan Strategis bagi Perekonomian Indonesia
Aglomerasi pabrik adalah pengumpulan atau pemusatan pabrik dalam suatu tempat, lokasi, atau kawasan tertentu. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap pengusaha pabrik hasil tembakau.
Aglomerasi pabrik diperuntukkan bagi pengusaha pabrik dengan skala industri kecil dan industri menengah atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Aglomerasi pabrik dapat dilaksanakan pada empat tempat, yaitu kawasan industri, kawasan industri tertentu, sentra industri kecil dan industri menengah, dan tempat pemusatan industri tembakau lainnya yang memiliki kesesuaian dengan tata ruang wilayah.