Dengan investasi jumbo itu, produksi dari Shell prelude jauh di bawah Masela, yaitu hanya sebanyak 3,6 MTPA LNG, 1,3 MTPA Condensate dan 0,4 MTPA LPG. Sejak dimulai pembangunannya, proyek Shell Floating Prelude LNG belum memberikan hasil optimal. Bahkan, capexnya hingga tahun ini diperkirakan terus membengkak.
Sesuai perhitungan kementerian ESDM pada saat itu, pengembangan blok Masela secara offshore akan menghemat biaya sekitar US$ 8,9 miliar – US$ 11,5 miliar.
Baca Juga:
Kanwil DJPb Sulteng: Kinerja APBN hingga Oktober 2024 Alami Pertumbuhan Positif
Jika dirupiahkan dengan kurs saat itu nilai penghematannya sekitar Rp 134 triliun – 173 triliun. Angka tersebut sangat besar bagi negara, mengingat pengembangan blok Masela menggunakan sistem cost recovery, yang seluruhnya dibiayai dari dana APBN.
“Investasi pengembangan Blok Masela akan menentukan besaran harga jual LNG dan gas bumi yang akan diproduksi dari lapangan itu. Semakin rendah biaya investasinya, tentu harga jual gas akan semakin terjangkau. Itu sebabnya, menjadi sangat penting efisiensi dilakukan agar LNG bisa dijual dengan harga yang kompetitif,” imbuh Fahmy.
Kementerian ESDM memang memiliki pengalaman yang positif terkait efisiensi dalam pengembangan blok migas.
Baca Juga:
Realisasi Anggaran Pendidikan Hingga Oktober 2024 Capai Rp463,1 Triliun
Salah satunya dalam proyek pengembagan lapangan Jambaran Tiung Biru (JTB) di Bojonegoro, Jawa Timur. Proyek cost recovery yang semula menganggarkan capex senilai US$ 2,2 miliar itu bisa dipangkas menjadi US$ 1,550 miliar.
Selain menghemat biaya APBN, berkurangnya capex membuat harga gas dari lapangan JTB bisa dipangkas menjadi US$ 6,7 per MMSCFD. Sebelumnya, dengan asumsi investasi US$ 2,2 miliar, harga jual gas dari JTB diatas US$ 8,5 per MMSCFD. [rin]