Dengan demikian, menurutnya, hilangnya kuota hanya karena masa aktif habis sama saja dengan merampas barang yang telah sah dibeli konsumen.
Lebih jauh, Iskandar menilai praktik ini sebagai bentuk penghilangan manfaat atas produk digital yang seharusnya sepenuhnya dimiliki konsumen.
Baca Juga:
Mayoritas Warga Indonesia Belum Sadar Risiko Keamanan Data Pribadi
Ia merujuk pada ketentuan hukum dalam KUH Perdata maupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menuntut adanya itikad baik dalam pelaksanaan kontrak.
“Kontrak itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. Tapi apakah adil jika operator menerima uang penuh tapi memusnahkan kuota hanya karena lewat tanggal?” ujarnya mempertanyakan.
Alasan yang kerap dikemukakan operator soal keterbatasan frekuensi atau sistem teknis dianggapnya tak masuk akal. Ia membandingkan dengan sistem token listrik atau e-toll, yang tetap bisa digunakan kapan saja selama saldonya masih ada.
Baca Juga:
Konsumen Merugi karena Kuota Hangus, BPKN Desak Pertanggungjawaban Provider
Di negara lain seperti Australia dan Malaysia, lanjut Iskandar, telah diterapkan sistem rollover, di mana sisa kuota dapat digunakan pada periode berikutnya. Sementara di Indonesia, sisa kuota justru lenyap seketika begitu melewati tanggal aktif.
“Seolah-olah kuota itu bukan hak milik konsumen. Padahal mereka sudah bayar lunas,” tegasnya.
Kerugian publik akibat praktik ini disebut sangat besar. Menurut catatan IAW, sejak 2010 hingga 2024, potensi kerugian konsumen akibat kuota hangus tanpa kompensasi ditaksir mencapai Rp613 triliun.