WAHANANEWS.CO, Jakarta - Habis masa aktif, hangus pula kuota yang belum terpakai, fenomena ini terus terjadi tanpa ada sanksi atau perlindungan nyata bagi pengguna.
Di balik layar, praktik ini bukan sekadar aturan teknis operator, melainkan bisa menjadi bentuk kejahatan ekonomi yang diam-diam merugikan masyarakat Indonesia triliunan rupiah setiap tahunnya.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Apresiasi Tekad PLN Icon Plus dalam Menyediakan Internet Cepat dan Terjangkau untuk Masyarakat
Bagi jutaan pengguna internet di Indonesia, habisnya masa aktif paket data kerap berarti hilangnya kuota yang sebenarnya sudah dibayar.
Praktik penghangusan kuota ini telah menjadi hal yang lumrah, bahkan dianggap wajar oleh sebagian masyarakat.
Namun, Indonesian Audit Watch (IAW) memandangnya sebagai pelanggaran hak konsumen yang sangat serius.
Baca Juga:
Polri Sebut AKBP Fajar Buat Konten Porno Anak dan Unggah ke Situs Internet
Menurut Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, penghapusan kuota hanya karena masa aktif berakhir merupakan kejahatan ekonomi yang dibiarkan berlangsung selama bertahun-tahun.
“Apa yang dibeli konsumen itu bukan waktu, tapi volume data. Kalau ditanya ke siapa pun, saat beli paket internet, mereka membeli kapasitas data, bukan menyewa jam atau hari,” kata Iskandar, mengutip Tribunnews, Minggu (15/6/2025).
Ia mengibaratkan pembelian kuota seperti membeli air galon. Konsumen membayar berdasarkan jumlah air, bukan berdasarkan berapa lama air itu akan disimpan.
Dengan demikian, menurutnya, hilangnya kuota hanya karena masa aktif habis sama saja dengan merampas barang yang telah sah dibeli konsumen.
Lebih jauh, Iskandar menilai praktik ini sebagai bentuk penghilangan manfaat atas produk digital yang seharusnya sepenuhnya dimiliki konsumen.
Ia merujuk pada ketentuan hukum dalam KUH Perdata maupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menuntut adanya itikad baik dalam pelaksanaan kontrak.
“Kontrak itu harus dilaksanakan dengan itikad baik. Tapi apakah adil jika operator menerima uang penuh tapi memusnahkan kuota hanya karena lewat tanggal?” ujarnya mempertanyakan.
Alasan yang kerap dikemukakan operator soal keterbatasan frekuensi atau sistem teknis dianggapnya tak masuk akal. Ia membandingkan dengan sistem token listrik atau e-toll, yang tetap bisa digunakan kapan saja selama saldonya masih ada.
Di negara lain seperti Australia dan Malaysia, lanjut Iskandar, telah diterapkan sistem rollover, di mana sisa kuota dapat digunakan pada periode berikutnya. Sementara di Indonesia, sisa kuota justru lenyap seketika begitu melewati tanggal aktif.
“Seolah-olah kuota itu bukan hak milik konsumen. Padahal mereka sudah bayar lunas,” tegasnya.
Kerugian publik akibat praktik ini disebut sangat besar. Menurut catatan IAW, sejak 2010 hingga 2024, potensi kerugian konsumen akibat kuota hangus tanpa kompensasi ditaksir mencapai Rp613 triliun.
Lebih mengkhawatirkan lagi, dana sebesar itu tidak tercatat sebagai kewajiban dalam laporan keuangan operator, yang membuka peluang pengakuan pendapatan fiktif.
“Kalau ini tidak dianggap masalah, kita sedang menyaksikan penghilangan nilai ekonomi rakyat secara sistemik. Bahkan, ini berpotensi melanggar hukum pidana korupsi,” tandas Iskandar.
Atas dasar itu, IAW mendorong adanya langkah hukum kolektif atau class action, serta uji materi terhadap regulasi yang dinilai memberi celah terjadinya praktik penghangusan kuota.
Mereka juga menuntut revisi terhadap UU Telekomunikasi dan UU Perlindungan Konsumen untuk mempertegas bahwa kuota adalah hak milik digital konsumen, bukan semata jasa terbatas waktu.
Lebih tegas lagi, Iskandar menyerukan agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) demi menjamin perlindungan digital bagi rakyat.
Menurutnya, isu ini tak bisa lagi dianggap sebagai sekadar masalah layanan internet.
“Kuota yang dibeli bukanlah sampah. Tapi dengan sistem sekarang, kuota menjadi sampah digital termahal di dunia. Kalau aparat penegak hukum terus diam, maka negara gagal melindungi hak digital rakyatnya sendiri,” ucapnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]