Perubahan perilaku ini juga memunculkan peningkatan dalam nasionalisme merek, di mana konsumen lebih memilih merek dari negara asal tertentu.
Laporan yang sama menunjukkan bahwa 73% responden Indonesia lebih sering membeli produk lokal dibandingkan tahun sebelumnya, sementara 58% mengaku memboikot merek yang mendukung pihak dalam konflik Israel-Hamas.
Baca Juga:
Mudahkan Pelanggan Bayar Listrik, PLN Mobile Jalin Kolaborasi dengan MotionPay
Karena pilihan merek juga mencerminkan identitas sosial, laporan ini mencatat bahwa generasi muda (usia 18-34) merasa lebih terhubung dengan orang lain yang menggunakan merek yang sama (69%), dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih tua (35-54) sebesar 58%.
Selain itu, hampir setengah dari responden muda (49%) mengaku menilai orang lain berdasarkan pilihan mereknya.
Dengan dinamika konsumen yang terus berkembang ini, semakin jelas bahwa publik di Indonesia menuntut brand untuk mengambil sikap pada isu kontroversial atau politis ketika berada di bawah tekanan (64%).
Baca Juga:
Wamendag Roro Serahkan Penghargaan Perlindungan Konsumen 2024 kepada Para Kepala Daerah
Kemudian, karena orang percaya pada kekuatan brand untuk berkontribusi lebih banyak bagi agenda publik, bukan lebih sedikit, responden mengharapkan brand untuk melakukan lebih banyak dalam isu seperti perubahan iklim (33%), upah yang adil (28%), dan pelatihan ulang (retraining) tenaga kerja (26%).
Sementara itu, ketika sebuah brand tidak mengomunikasikan tindakan mereka dalam menangani isu-isu sosial, 55% responden Indonesia menganggap merek tersebut tidak melakukan apa-apa atau menyembunyikan sesuatu.
“Konsumen kini secara dekat memperhatikan setiap keputusan yang dibuat oleh brand, yang kini memberikan implikasi politik yang lebih besar daripada sebelumnya. Temuan kami mengungkapkan bahwa tindakan paling sederhana oleh sebuah merek sekalipun, seperti pemilihan influencer dan perekrutan karyawan yang beragam, juga dapat dianggap sebagai pernyataan politik,” papar Nia.