Oleh Nadya Chairunnisa Ramadhani
MENJADI negara kepulauan yang mempunyai wilayah yang luas serta jumlah penduduk besar menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kebutuhan energi yang tinggi. Sayangnya, kebutuhan energi yang masih mendominasi di Indonesia berasal dari bahan baku yang habis pakai dan tak terbarukan seperti batubara dan minyak bumi.
Baca Juga:
PLN Pasok Energi Hijau pada Peringatan HUT ke-79 Pertambangan dan Energi
Sudah menjadi perbincangan yang serius untuk Indonesia melakukan transisi energi menuju ke sistem yang rendah karbon untuk mengurangi dampak yang buruk bagi dunia. Namun siapkah kita meninggalkan mimpi masa lalu dan menyambut harapan baru masa depan melalui transisi energi?
Mungkin belum banyak yang tahu Indonesia memproduksi minyak sebanyak 786 ribu BOPD (barrel oil per day) pada tahun 2015 dengan tingkat konsumsi sebanyak kurang lebih 1,5 juta barrel per hari. Artinya, produksi minyak Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsinya.
Angka tersebut tidak menunjukkan peningkatan hingga hari ini, padahal BBM adalah sumber energi yang sangat masif digunakan masyarakat. Impor pun jadi pilihan yang harus diambil agar kebutuhan masyarakat akan energi tetap terpenuhi.
Baca Juga:
Kemenperin Dorong Pemanfaatan Hidrogen dalam Pengembangan Energi Terbarukan
Di lain pihak, sudah banyak yang tahu bahwa penggunaan energi fosil yang masif akan menimbulkan dampak bagi bumi yang sangat buruk seperti contohnya meningkatkan emisi gas karbon, menyebabkan pencemaran lingkungan, juga meningkatkan pemanasan global.
Transisi energi pun dipilih pemerintah sebagai jalan selanjutnya demi menjaga ketahanan energi juga menahan kenaikan suhu bumi. Indonesia mulai melakukan energi transisi, perlahan-lahan energi beralih ke Energi Baru Terbarukan (EBT) mulai dari surya, air, panas bumi, bioenergi, angin, dan arus laut.
Indonesia pun menyampaikan posisinya, memiliki tujuan yang sama dengan tujuan dunia yaitu salah satunya mendorong SDG’s (Sustainable Development Goals) nomor 7 yaitu affordable and clean energy.
Tidak banyak disinggung di bangku sekolah sebelumnya, Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan EBT. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral potensi Energi Baru Terbarukan di Indonesia kurang lebih 417 GW.
Energi baru (angin) berpotensi dibangkitkan hingga 60,6 GW, tenaga air sebesar 75 GW, bioenergi sebesar 32,6 GW, tenaga surya sebesar 207,8 GW dan arus laut sebesar 25,4 GW.
Ironisnya, dari total potensi sebesar 417 GW, yang telah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik baru sebesar 9,5 GW atau sekitar 2,15% nya saja.
Peran serta masyarakat dibutuhkan, di samping upaya terus menerus dari pemerintah yang berkesinambungan untuk mencapai bauran EBT yang diinginkan.
Sebagai komitmen nasional dalam penurunan emisi, pemerintah meratifikasi Paris Agreement melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 mengenai Pengesahan Paris Agreement to UNFCCC.
Tak hanya itu, dikeluarkan pula Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang RAN-GRK dimana penurunan emisi sebesar 64,4 juta ton CO2 dicapai melalui pemanfaatan EBT 53%, penerapan efisiensi energi 20%, penggunaan bahan bakar fosil rendah karbon 13 %, dan pemanfaatan teknologi pembangkit bersih 9%.
Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional yang tercantum dalam PP Nomor 79 Tahun 2014 dan Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 mengenai Rencana Umum Energi Nasional yang menargetkan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan pada tahun 2025 sebesar 23% dan berlanjut hingga pada tahun 2025 mencapai 31%.
Kebijakan dari pemerintah tersebut menjelaskan bahwa perlu mengoptimalkan pemanfaatan energi baru, memaksimalkan penggunaan energi bersih, dan meminimalkan penggunaan minyak bumi.
Dalam hal ini, pemerintah merencanakan pengembangan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) secara masif karena sampai sekarang pemanfaatan dari energi surya sendiri masih tergolong rendah, hanya 153,5 MWp atau sebesar 0,07% saja. Jika dibandingkan dengan negara China kita masih kalah jauh.
Warga China sudah memproduksi panel surya di rumahnya sendiri dan banyak masyarakat China yang meng-install panel surya.
Permintaan panel surya terutama di China terbilang besar karena LCOE atau Levelized Cost of Electricity panel surya relatif kompetitif terhadap bahan bakar fosil seperti batubara. Indonesia perlu belajar dari negara-negara yang sudah berhasil meningkatkan pemanfaatan PLTS seperti China dan Vietnam.
Strategi kebijakan yang ditetapkan oleh China adalah mekanisme penetapan harga pembangkit listrik. Keuntungannya juga adalah China dapat memproduksi sendiri panel dan mensosialisasikan dengan gencar kepada warganya terkait keuntungan-keuntungan menggunakan panel surya ini.
Beberapa warga China sudah banyak yang teredukasi dan sudah sadar akan energi transisi dengan salah satunya mendukung untuk menggunakan PLTS atap atau memanfaatkan energi surya untuk dijadikan energi listrik.
Inilah tantangan bagi Indonesia yaitu masih kurangnya pemahaman dan kolaborasi bersama warga untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan.
Stigma masyarakat masih menganggap Energi Baru Terbarukan mahal dan sulit untuk perawatannya. Untuk memecahkan stigma negatif yang beredar di masyarakat, pemerintah harus menciptakan sosialisasi serta komunikasi untuk setiap permasalahan.
Seluruh elemen yang ada di Indonesia harus berperan serta dalam pengembangan EBT terkhusus untuk rencana pemerintah menggencarkan pemasangan PLTS atap.
Salah satunya sosialisasi langsung kepada masyarakat akan pentingnya energi bersih, pengetahuan, kesadaran dan juga pelibatan diri untuk masa depan yang lebih baik.
Pada akhirnya diharapkan masyarakat yang akan mendukung strategi pengembangan EBT, menciptakan pasar-pasar energi baru melalui hubungan dengan kementerian atau lembaga, mengembangkan biofuel dan green fuel, mengembangkan pengadaan PLTS EBT dengan harga yang kompetitif, merevisi peraturan dan perundang-undangan untuk mendukung pengembangan EBT, hingga pendorongan co-firing (subtitusi batubara dengan biomassa pada pembangkit).
Perlu usaha lebih dari pemerintah dalam merangkul, melibatkan, bekerja sama serta berkoordinasi dengan lembaga-lembaga, badan usaha, industri yang menangani pengembangan EBT sehingga EBT dapat diterima.
Indonesia juga perlu untuk melakukan penelitian dan pengembangan yang perlu digalakkan agar sumber daya dalam negeri bisa digunakan sebagai bahan dasar listrik tenaga surya. Jika bisa diproduksi dalam negeri, harga biaya investasi pembangkit listrik tenaga surya akan dapat menurun dan menurunkan juga nilai biaya pembangkitan listrik.
Kita tunggu komitmen bersama elemen bangsa sehingga listrik EBT yang murah dan terjangkau sebagai harapan masa depan tak hanya sebatas wacana. [qnt]
Artikel ini sudah dimuat di kumparan.com
kumparan.com/nadya-chairunnisa-ramadhani/transisi-energi-indonesia-sebuah-keniscayaan-masa-depan-1wUyWonJcDh/full