WAHANANEWS.CO, Jakarta - Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) dari Kementerian Agama (Kemenag) RI mengonfirmasi bahwa kewajiban sertifikasi halal yang tercantum dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal berfungsi untuk melindungi keamanan konsumen dan produsen.
"Dalam perekonomian, ada dua pihak utama, yaitu produsen dan konsumen. Undang-Undang ini melindungi kedua pihak tersebut, memberikan kenyamanan, keamanan, dan kepastian akan kehalalan produk yang dikonsumsi kepada konsumen," ujar Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal BPJPH, Dzikro, dalam seminar daring di Jakarta, Senin (26/8/2024).
Baca Juga:
Kemenperin Perkenalkan Industri Halal Indonesia ke Kazakhstan
Untuk produsen, Dzikro menambahkan bahwa aturan tersebut memberikan nilai tambah melalui sertifikasi halal, yang wajib diterapkan pada semua produk yang beredar di Indonesia sesuai amanat Undang-Undang No. 33 Tahun 2014.
Dengan meningkatnya tren gaya hidup halal di seluruh dunia, label halal kini menjadi faktor penting yang dipertimbangkan masyarakat sebelum membeli suatu produk untuk dikonsumsi.
"Secara logis, produsen membutuhkan nilai tambah untuk konsumen tersebut. Undang-Undang ini memiliki tujuan yang mulia, yaitu memberikan keamanan, kenyamanan, keselamatan, dan kepastian produk halal bagi masyarakat," tambahnya.
Baca Juga:
Wapres Tekankan Tiga Kunci Penguatan Kerja Sama Indonesia-Fujian
Dzikro juga menjelaskan bahwa kewajiban sertifikasi halal ini adalah langkah pemerintah untuk melindungi konsumen dan produsen di Indonesia.
Pada awalnya, jelas dia, sertifikasi halal bersifat sukarela bagi produsen yang ingin menambahkan label halal sebagai nilai tambah pada produknya melalui lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI).
"Namun, sejak berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014, sertifikasi halal menjadi wajib, karena Pasal 4 UU tersebut mewajibkan semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia untuk memiliki sertifikat halal. Hal ini sekarang menjadi produk hukum," ujarnya.