Polemik pungutan royalti musik di restoran kembali memicu sorotan publik setelah sebuah foto struk pembayaran menunjukkan adanya biaya tambahan sebesar Rp29.140 yang dibebankan kepada pelanggan.
Foto yang beredar di media sosial itu menimbulkan gelombang kritik, terutama dari kalangan pegiat perlindungan konsumen yang menilai praktik tersebut tidak tepat.
Baca Juga:
Royalti Musik Bermasalah, Otto Hasibuan Minta UU Hak Cipta Segera Direvisi
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan bahwa beban pembayaran royalti musik seharusnya menjadi tanggung jawab pihak restoran, bukan konsumen.
Sekretaris Eksekutif YLKI, Rio Priambodo, mengatakan pengenaan tarif ini tidak memiliki relevansi langsung dengan layanan yang dipesan pelanggan.
“Pengenaan royalti ke konsumen tidak nyambung karena seharusnya itu menjadi beban pihak restoran,” ujarnya.
Baca Juga:
Kisuh Soal Royalti, Viral Struk Makanan di Resto Ada Tagihan Musik Rp29 Ribu
Rio juga mempertanyakan dasar hukum yang digunakan restoran untuk membebankan biaya tersebut kepada konsumen. Kontroversi ini semakin melebar karena sebagian kafe, restoran, dan tempat hiburan kini memilih berhenti memutar lagu Indonesia demi menghindari kewajiban royalti.
Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia, Tulus Abadi, menilai tindakan restoran memasukkan royalti musik dalam tagihan pelanggan tidak bisa dibenarkan.
“Ketentuan ini jelas tidak bisa dibenarkan, sebab konsumen tersebut tidak mengorder musik. Bahkan ini bisa dikategorikan sebagai bentuk pemaksaan,” tegasnya.
Menurut Tulus, kebijakan ini juga tidak adil bagi konsumen yang tidak menyukai musik yang diputar di restoran. Ia menekankan bahwa royalti harus dibayar dari pendapatan bersih pengelola, bukan dibebankan kepada pengunjung.
“Pihak resto bisa membayar royalti musik dari pendapatan bersih restoran, bukan dibebankan pada konsumen,” tambahnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyampaikan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum untuk membenahi regulasi pengelolaan royalti yang menjadi kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Menurutnya, formasi baru komisioner LMKN yang ditetapkan lewat Keputusan Menteri Hukum pada 8 Agustus 2025 akan menjadi langkah awal penyelesaian kisruh ini.
“Dibuatkan peraturan menteri baru untuk mengatur supaya pengambilan royalti itu nantinya tidak memberatkan rumah makan, restoran, dan tempat hiburan lainnya,” kata Dasco.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]