WAHANANEWS.CO, Jakarta - Rencana Bank Indonesia (BI) menerapkan sistem identifikasi transaksi keuangan bernama Payment ID pada 2030 memicu polemik di kalangan masyarakat dan pemerhati konsumen, sebab kebijakan ini dinilai berpotensi menembus ranah privasi individu.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta agar kebijakan Payment ID dibatalkan dan pemerintah menjelaskan secara rinci urgensi kebijakan tersebut sebelum diterapkan.
Baca Juga:
YLKI: Beban Royalti Musik di Restoran Tak Sepatutnya Ditagihkan ke Konsumen
Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo pada Selasa (12/8/2025) mengatakan negara berpotensi terlalu jauh mengawasi transaksi keuangan hingga ke level konsumen individual, sehingga dapat mengganggu kenyamanan dan kebebasan konsumen.
"YLKI meminta pemerintah tidak masuk ke ranah privat konsumen apalagi kalau tidak ada indikasi pidana, hal ini membuat konsumen risih," ujarnya.
Rio menegaskan kebijakan tersebut terlalu dalam masuk ke privasi konsumen dan pemerintah harus memerhatikan Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
Baca Juga:
Kebijakan Visa Furoda Arab Saudi Disorot, BP Haji dan YLKI Ambil Sikap
Ia mengingatkan pengawasan sampai ke level individu berpotensi disalahgunakan jika tidak ada pihak independen yang mengawasi.
"Pemerintah harus belajar, kasus pemblokiran rekening oleh PPATK yang sempat membuat gaduh konsumen, ke depan pemerintah harus berhati-hati membuat kebijakan, apalagi sektor keuangan sangat sensitif terhadap konsumen," pungkasnya.
Payment ID merupakan bagian dari inisiatif besar dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 yang bertujuan membangun sistem pembayaran digital nasional yang efisien, inklusif, dan terintegrasi menuju visi Indonesia Emas 2045.
Konsep ini akan merekam identitas pembayaran dan data relevan untuk pengaturan serta pengawasan sistem pembayaran, berfungsi sebagai kunci identifikasi, alat otentikasi, dan sarana agregasi data profil transaksi individu berbasis NIK.
Payment ID memungkinkan BI mengkonsolidasikan data dari rekening bank, e-wallet, pinjaman online, hingga bantuan sosial dalam satu sistem yang terintegrasi.
Peluncuran resmi inisiatif ini dijadwalkan pada 17 Agustus 2025 bertepatan dengan HUT RI ke-80, diawali dengan uji coba di internal BI dan penyaluran bantuan sosial non-tunai.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Amin Ak mengingatkan agar aspek keamanan data menjadi prioritas utama sebelum implementasi Payment ID pada 2030.
Menurut Amin, waktu lima tahun yang tersedia harus dimanfaatkan untuk memastikan keamanan, regulasi, dan kesiapan teknologi agar tidak membebani pengguna.
"Justru di sinilah kita harus memastikan keamanan dan kerahasiaan data menjadi prioritas mutlak," ujarnya.
Ia menekankan perlunya regulasi yang jelas dan tegas termasuk sanksi bagi pihak yang menyalahgunakan data, serta memastikan integrasi teknologi lintas bank, fintech, e-wallet, dan QRIS berjalan lancar.
“Kami akan mengawal setiap tahap implementasinya agar manfaatnya terasa, dan risikonya terkendali,” tegasnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]