Kedua negara telah lama berusaha menyelesaikan perbedaan, termasuk Qassem Soleimani yang bersalah, jenderal top Iran yang dibunuh oleh Amerika Serikat dalam serangan pesawat tak berawak tahun 2020 di Baghdad, Irak.
Soleimani berada di Baghdad pada saat itu untuk membahas langkah-langkah meredakan ketegangan antara Teheran dan Riyadh. Israel kemudian mengakui keterlibatannya dalam pembunuhan itu.
Baca Juga:
Permalukan India, Jet J-10C China Jadi Bintang Baru di Medan Tempur
Ketika ditanya apakah perdamaian antara Iran dan Arab Saudi kemungkinan akan membahayakan normalisasi antara Riyadh dan Israel, Pangeran Turki al-Faisal mengatakan bahwa perjanjian perdamaian Saudi-Israel tidak lebih dari cerita media dan normalisasi antara kerajaan dan negara Apartheid adalah tidak dijamin.
Arab Saudi dan Iran sepakat untuk membuka kembali kedutaan dan misi mereka dalam waktu dua bulan dan berjanji untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri masing-masing. Ini muncul dari pernyataan bersama yang ditengahi China.
Di Washington ada kegugupan seputar perjanjian damai dengan spekulasi atas melemahnya pengaruh Amerika di wilayah tersebut.
Baca Juga:
China Tundukkan Korea di Final, Raih Gelar Ke-14 Piala Sudirman
Ungkapan kekesalan Arab Saudi terhadap AS bukan pertama kalinya.
Tahun 2022 lalu, Turki Al-Faisal, bicara blak-blakan bahwa negaranya sudah dikecewakan oleh Amerika Serikat (AS) usai Riyadh percaya pada Washington soal jaminan keamanan dan stabilitas kawasan Teluk.
Dia membeberkan ancaman secara khusus sebagai pengaruh Iran di Yaman dan penggunaan Houthi sebagai alat tak hanya untuk mengacaukan Arab Saudi, tapi juga menganggu keamanan dan stabilitas jalur laut internasional di sepanjang Laut Merah, Teluk dan Laut Arab.