Pada Mei, Supermax mengatakan pihaknya memperlakukan para pekerja migran berdasarkan UU tenaga kerja dan berjanji melawan kerja paksa, menyusul laporan media bahwa CBP melakukan penyelidikan terhadap perusahaan tersebut.
Sebagian besar pekerja migran di Malaysia berasal dari Bangladesh dan Nepal.
Baca Juga:
Dua WNI Tewas dalam Kecelakaan Maut Bus Pariwisata di Malaysia
Aktivis hak-hak buruh, Andy Hall, yang mengisi petisi penyelidikan Supermax kepada CBP, mengatakan wawancaranya dengan pekerja perusahaan tersebut menunjukkan mereka hidup dan bekerja dalam "kondisi mengerikan".
Dia mengatakan, para pekerja membayar biaya rekrutmen yang tinggi sehingga mereka harus terjerat hutang, menghadapi pemotongan upah yang tidak sah dan tinggal dalam tempat yang sempit.
Supermax tidak menanggapi pernyataan Hall.
Baca Juga:
Ambisi Malaysia Bangkit di ASEAN Terganjal Penolakan Jauregizar dari Bilbao
Pesaing terbesar Supermax, Top Glove yang merupakan perusahaan sarung tangan lateks terbesar dunia, dilarang CBP terkait dugaan yang sama pada Juli lalu, tapi larangan itu dicabut bulan lalu setelah perusahaan itu mengatasi masalah tenaga kerjanya.
Produsen minyak sawit, Sime Darby Plantation dan FGV Holdings juga dilarang CBP tahun lalu terkait dugaan kerja paksa. Kedua perusahaan ini menunjuk auditor untuk mengevaluasi praktik mereka dan mengatakan mereka akan terlibat dengan CBP untuk mengatasi masalah tersebut. [qnt]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.