WahanaNews.co | Sejak awal masa pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, hubungan Arab Saudi-AS tidak begitu baik.
Hubungan makin buruk setelah pengumuman pemerintah AS tidak akan lagi mendukung operasi militer pimpinan Saudi di Yaman melawan gerakan Houthi.
Baca Juga:
Timnas Indonesia Hadapi Arab Saudi di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Putaran Ketiga
Namun dalam perkembangan terbaru, Amerika Serikat telah mengirim rudal Patriot dalam jumlah "signifikan". Rudal itu dirancang untuk menembak jatuh rudal yang masuk ke Arab Saudi selama beberapa pekan terakhir.
“Langkah AS ini merupakan upaya memasok amunisi pertahanan Riyadh di tengah konfrontasi yang sedang berlangsung dengan faksi oposisi bersenjata Houthi di Yaman,” ungkap laporan Wall Street Journal (WSJ), dilansir Sputnik pada Rabu (23/3/2022).
Menurut WSJ, Patriot Interceptors tidak dikirim langsung ke Arab Saudi dari Amerika Serikat.
Baca Juga:
Kanwil Kemenag Kaltara Alokasikan 221.000 Jatah Haji untuk Tahun 2025
Sebaliknya, rudal pertahanan udara itu dipindahkan dari tempat penyimpanan terdekat di negara-negara Teluk lainnya yang akan menerima persetujuan, seperti yang disyaratkan Undang-undang (UU) Amerika Serikat.
Riyadh telah meminta pasokan sejak akhir 2021, yang telah berkontribusi pada ketegangan pada hubungan kedua negara.
Pejabat pemerintahan Biden menekankan bahwa penundaan itu tidak disengaja tetapi karena permintaan yang tinggi untuk Patriot dari sekutu AS lainnya serta proses pemeriksaan yang diperlukan.
Juru bicara Pentagon John Kirby telah menolak mengkonfirmasi pengiriman Patriot Interceptors tetapi menekankan pentingnya keamanan Arab Saudi untuk kepentingan Amerika Serikat di daerah tersebut.
“Kami terus berdiskusi dengan Saudi tentang ini, tentang lingkungan ancaman ini, dan selalu mencari cara untuk terus membantu mereka membela diri, tetapi saya tidak punya apa-apa untuk dikatakan sehubungan dengan laporan pers itu,” ujar pejabat itu pada Senin.
Pemerintahan Biden telah bekerja dengan Arab Saudi untuk memperkuat pertahanan mereka terhadap serangan udara dari pasukan Houthi di Yaman, negara termiskin di Timur Tengah.
Arab Saudi telah menghadapi peningkatan serangan roket dan drone Houthi, berjumlah 400 serangan tahun lalu. Hal itu diungkapkan sumber yang mengetahui situasi tersebut pada The Hill.
Roket Houthi baru-baru ini menghantam fasilitas produksi minyak dan pabrik desalinasi air milik Aramco, perusahaan petrokimia milik negara Saudi.
Serangan itu menyebabkan kebakaran di satu fasilitas dan memperlambat produksi minyak di fasilitas lain.
Sampai saat ini, Amerika Serikat telah mengirim Arab Saudi lebih dari USD100 miliar senjata selama sepuluh tahun terakhir.
Mereka juga telah mengirim senjata ke Uni Emirat Arab (UEA) yang juga berjuang bersama Riyadh melawan Houthi di Yaman.
Arab Saudi adalah salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia dan upaya memperbaiki hubungan antara Washington dan Riyadh ini dilakukan saat harga minyak mentah meroket.
Lonjakan harga minyak terjadi setelah AS melarang impor minyak dari Rusia terkait krisis di Ukraina. AS ingin Saudi menambah pasokan minyak di pasar dunia namun permintaan ini belum ditanggapi Riyadh.
Arab Saudi menegaskan pihaknya tidak mau bertanggung jawab atas kenaikan minyak di pasar global.
Mungkinkah pengiriman rudal Patriot dalam jumlah besar itu untuk membujuk Saudi agar melakukan intervensi terkait lonjakan harga minyak?
Perang saudara Yaman saat ini meletus pada 2014 dan, menurut UNICEF, “Yaman tetap menjadi salah satu krisis kemanusiaan terbesar di dunia, dengan sekitar 23,7 juta orang membutuhkan bantuan.”
Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan, konflik tersebut telah menewaskan hampir seperempat juta orang dan lebih dari 50% penduduk Yaman menghadapi kerawanan pangan. [qnt]