WahanaNews.co | China melarang influencer melakukan flexing harta kekayaan di media sosial.
Baru-baru ini, China's Cyberspace Administration membuat sebuah kampanye bertajuk "Bright and Clear" yang melarang influencer untuk flexing atau pamer harta kekayaan di media sosial.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Tujuan larangan ini untuk mencegah kejahatan di platform online, seperti bullying hingga diskriminasi.
Ribuan konten flexing dari para influencer dihapus karena dianggap mempromosikan 'nilai-nilai buruk'. Beberapa platform yang menghapus jenis konten ini adalah Weibo (Twitter versi China), Xiaohongshu (Instagram versi China), dan Douyin (TikTok versi China).
Dilansir dari Business Insider, Weibo, yang memiliki hampir 600 juta pengguna aktif, mengunggah daftar jenis konten flexing yang dilarang yaitu:
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
1. Menampilkan mobil mewah atau rumah mahal sebagai gimmick untuk memasarkan produk atau membangun reputasi seseorang.
2. Mengunggah gambar uang tunai dalam jumlah besar atau orang sedang melempar uang kertas.
3. Menampilkan layanan atau barang mewah untuk melebih-lebihkan bagaimana seseorang dapat memperoleh “jutaan dalam sebulan”, mencapai kemandirian finansial, atau memulai bisnis yang menguntungkan dari awal.
4. Membahas "rumah tangga generasi kedua", sebuah istilah yang biasanya menggambarkan orang-orang yang menikmati kekayaan karena orang tuanya kaya.
5. Memfilmkan anak di bawah umur yang menggunakan barang mewah untuk mencari engagement dan sensasi.
6. Menampilkan konten yang menekankan diskriminasi kelas, yang disebut oleh Weibo sebagai tindakan yang "melebih-lebihkan dan membesar-besarkan perjuangan kelas bawah untuk bertahan hidup."
Xu Qiuying, editor surat kabar pemerintah Beijing News, menulis dalam komentarnya bahwa beberapa influencer yang terkena larangan tersebut telah menjadi sasaran karena menggunakan tampilan kekayaan sebagai taktik pemasaran.
“Jika orang kaya hanya berbagi kehidupan nyata mereka, dan kekayaan mereka berasal dari sumber yang sah, dan mereka hanya memamerkan kekayaan mereka untuk memuaskan kesombongan pribadi mereka, maka tidak ada yang salah dengan hal itu,” tulis Xu.
Xu mengklaim bahwa influencer yang dilarang tersebut meningkatkan ketenaran mereka dengan "memamerkan kekayaan" dan, pada gilirannya, menjadi kaya dengan menjual produk melalui siaran streaming.
"Orang 'kaya' memamerkan kekayaannya untuk menjadi kaya," tulis Xu.
Dilansir dari NBC News, salah satu influencer yang konten flexingnya dihapus adalah Wang Hongquanxing.
Influencer yang dijuluki "Kim Kardashian dari China" ini mengklaim bahwa dia memiliki tujuh properti di Beijing, ibu kota China.
Ia juga flexing bahwa ia tidak pernah meninggalkan rumah dengan pakaian yang bernilai kurang dari 10 juta yuan (sekitar Rp22,5 miliar).
Konten flexing yang ia buat biasanya menunjukkan asistennya, tas mewah Hermes, hingga mobil sport mahal yang dibelinya.
Namun, sejak kampanye "Bright and Clear", akun Douyin Wang tidak dapat diakses oleh 4,3 juta pengikutnya. Jika dilakukan pencarian, muncul notifikasi bahwa akun tersebut diblokir dengan alasan "pelanggaran pedoman komunitas Douyin”.
Akun Douyin influencer online lain yang memposting konten serupa, seperti Bo Gongzi, dengan 2,9 juta pengikut, dan Baoyu Jiajie (Abalone Sister), dengan 2,3 juta pengikut, juga diblokir.
“Saat materialisme mulai menyebar, hal ini dapat memberikan pengaruh buruk pada remaja... Oleh karena itu, tren kemewahan di internet (flexing) perlu dihentikan,” tulis Beijing News, seperti dilansir Financial Times.
Ini bukan pertama kalinya pemerintah China berusaha mengawasi perilaku di internet untuk memberantas tren sosial yang dianggap dapat merusak.
Pada 2022, pemerintah mengeluarkan 'kode etik' yang melarang penyiar siaran langsung untuk “menampilkan atau mengiklankan sejumlah besar barang mewah, perhiasan, uang tunai, dan aset lainnya.
Keputusan ini diambil ketika China semakin sensitif terhadap orang-orang kaya yang memamerkan kekayaan mereka ketika negara tersebut menghadapi kemerosotan ekonomi yang signifikan.
Pada September 2022, kesenjangan pendapatan antara orang terkaya dan termiskin mencapai nilai tertinggi sejak pencatatan pada 1985. Perlambatan ekonomi yang terjadi sangat berdampak pada masyarakat kelas menengah.
Anak muda di China juga tengah bersaing ketat untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa dari mereka memilih untuk menolak bekerja berlebihan dan menarik diri dari masyarakat.
Namun, ada pula yang menganggap bahwa membuat konten di media sosial sebagai satu-satunya karier yang layak dijalani.
“Ketika kebanyakan orang tidak bahagia dengan kehidupan mereka sendiri, mereka melihat semua konten online yang tidak terhubung dengan kenyataan, melihat semua orang yang tampak begitu bahagia dan kaya, hal ini menciptakan psikologi yang sangat menyesatkan,” ujar Lyla Lai, mantan influencer kecantikan yang memiliki lebih dari satu juta pengikut di Douyin, kepada NBC News.
"Kekhawatiran tentang anak muda saat ini yang terlalu sering melihat hal-hal ini [konten flexing] dan tidak lagi fokus pada studi mereka, terjebak dalam materialisme yang berlebihan dan serakah," tambahnya.
Bagaimana di Negara Lain?
Konten flexing tidak hanya marak terjadi di China. Maka, ada kemungkinan negara-negara lain yang menghadapi masalah serupa, seperti Timur Tengah dan Afrika, dapat menerapkan larangan serupa terhadap konten flexing di media sosial.
“GenZ mengagumi sekaligus membenci influencer kaya yang terus-menerus mempromosikan diri mereka sendiri,” kata analis media sosial Greg Sterling, salah satu pendiri Near Media, kepada Forbes.
“Namun banyak generasi Z yang bercita-cita untuk bergabung dengan mereka. Menjadi seorang influencer di masa lalu merupakan salah satu cita-cita utama generasi Z. Namun, pada saat yang sama, mereka menyadari betapa dangkalnya kehidupan publik yang dialami oleh banyak dari generasi Z," tutupnya dikutip dari Beautynesia.id.
[Redaktur: Zahara Sitio]