WAHANANEWS.CO, Jakarta - Dua pekan setelah pengakuan mengejutkan dari Menteri Pertahanan Pakistan, Khawaja Muhammad Asif, dunia masih memperbincangkan klaim berani bahwa lima jet tempur Rafale milik India berhasil ditembak jatuh oleh angkatan udara Pakistan dalam insiden pada Rabu (8/5/2025).
Ketegangan antara dua kekuatan nuklir Asia Selatan itu pun kembali memuncak.
Baca Juga:
J-10C China Jadi Primadona Tempur Usai Rontokkan Rafale, Saham Meledak 53%
Klaim ini seketika menyebar luas, terutama setelah dimuat oleh media milik pemerintah China, Global Times.
Tak butuh waktu lama, Kedutaan Besar India menanggapinya sebagai "disinformasi terang-terangan."
Namun, pemerintah India memilih sikap bungkam: tidak membenarkan, tetapi juga tidak menyangkal.
Baca Juga:
Monster Udara Buatan Prancis Milik India Ini Punya Jangkauan 3.700 Km, Tapi Tetap Rontok!
Dari sisi lain dunia, seorang pejabat AS membocorkan bahwa Pakistan menggunakan jet tempur J-10 buatan China untuk melancarkan serangan udara ke India.
“Setidaknya dua pesawat India berhasil dijatuhkan,” ungkapnya, memperkuat kegaduhan yang kini menggema hingga Asia Tenggara.
Dan di titik inilah, Indonesia masuk ke dalam pusaran pusaka pertahanan global. Sebab, jet tempur Rafale yang kini dipertanyakan efektivitasnya, adalah jenis pesawat yang juga tengah diborong oleh Indonesia, sebanyak 42 unit.
Indonesia di Persimpangan Teknologi Tempur
Pada awal 2026, Indonesia dijadwalkan menerima gelombang pertama jet Rafale hasil kontrak senilai Rp116 triliun.
Kontrak pembelian tahap demi tahap telah diteken sejak Februari 2022 saat Menhan Prabowo Subianto menjamu Menhan Prancis Florence Parly.
Pesan politik di balik pembelian ini amat jelas: modernisasi alutsista adalah prioritas.
“TNI AU Akan Semakin Menggetarkan,” tulis Kementerian Pertahanan dalam rilis resmi mereka pada Januari 2024, menyiratkan bahwa kehadiran Rafale akan menjadi simbol kebangkitan kekuatan udara Indonesia.
Namun hari ini, ketika Pakistan mengklaim menumbangkan Rafale di atas langit Kashmir, pertanyaan membuncah: apakah Indonesia telah menaruh harapan pada platform yang salah?
Rafale: Gagah di Brosur, Rawan di Medan?
Dassault Aviation, pabrikan Rafale, memasarkan jet ini sebagai pesawat "omnirole" yang mampu menjalankan berbagai misi tempur: dari pertahanan udara, pengintaian, penyerangan laut, hingga penanggulangan ancaman nuklir.
Rafale telah digunakan dalam berbagai operasi militer, termasuk di Libya, Mali, dan Chad.
Namun belum pernah sebelumnya reputasinya diuji dalam pertempuran sesengit konflik India-Pakistan.
Fauzan Malufti, analis pertahanan yang kini menempuh studi keamanan global di Johns Hopkins University, mengingatkan agar Indonesia tidak gegabah menilai performa Rafale hanya dari satu konflik.
“Kita tidak bisa menarik kesimpulan terlalu dini. Dalam perang modern, bukan hanya pesawat versus pesawat, tapi ekosistem militer melawan ekosistem militer,” kata Fauzan kepada BBC News Indonesia. Ia mengibaratkan perang sebagai pertandingan sepak bola dengan banyak komponen yang saling menopang: pelatih, strategi, logistik, hingga teknologi pendukung.
Fauzan juga menyinggung bahwa pesawat tempur tercanggih pun pernah tumbang. “F-16, F-15, F-18—semuanya pernah jatuh. Bahkan oleh musuh yang tak setara,” ujarnya.
Pembelian Alutsista: Strategi atau Simbol?
Indonesia bukan hanya membeli Rafale. Prabowo, sejak menjabat Menhan pada 2019, telah menandatangani nota kesepahaman untuk membeli F-15EX dari AS, serta sempat merencanakan pembelian 12 Mirage 2000-5 bekas dari Qatar yang akhirnya dibatalkan karena keterbatasan fiskal.
Langkah ini mencerminkan strategi yang tak hanya soal spesifikasi teknis, tetapi juga geopolitik.
“Ada keinginan pemerintah untuk tak terlalu bergantung pada alutsista buatan AS. Prancis dipilih karena mereka punya otonomi strategis, meski tetap bagian dari NATO,” terang Fauzan.
Di balik pembelian Rafale, juga terdapat perjanjian industri strategis: amunisi buatan bersama antara PT Pindad dan Nexter Munition, kerja sama teknologi pertahanan dengan Thales Group dan PT Len Industri.
Pertahanan menjadi instrumen diplomasi dan ekonomi sekaligus.
Namun di dalam negeri, kritik terus bergema. Publik mempertanyakan transparansi dan efektivitas dari belanja alutsista jumbo.
“Masalahnya komunikasi pemerintah terlalu normatif. Masyarakat butuh penjelasan lebih rinci dan terbuka,” tegas Fauzan.
Ia membandingkan Indonesia dengan AS dan Australia, yang menyediakan dokumen resmi, bahkan portal khusus bagi publik untuk memahami detail alutsista mereka.
Rafale dan Masa Depan Pertahanan Indonesia
Perancis saat ini menjadi eksportir senjata terbesar kedua dunia, menggeser Rusia. Asia, termasuk Indonesia dan India, menjadi pasar utamanya.
Dalam periode 2019–2023, Perancis mengekspor 94 unit Rafale, empat kali lipat lebih banyak dibanding lima tahun sebelumnya.
Tetapi meningkatnya penjualan belum tentu menjamin keunggulan mutlak di medan perang.
Dan Indonesia harus berpikir ulang: jangan sampai pesawat tempur yang dibanggakan sebagai simbol kekuatan, justru menjadi simbol kerentanan.
Kejatuhan Rafale di langit India, jika benar, adalah alarm keras bagi Indonesia untuk segera mengaudit kesiapan pertahanan, ekosistem militer, dan strategi pengadaan alutsista, sebelum semuanya terlambat.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]