Sassoon, 38 tahun, yang merupakan anggota Federalist Society, diangkat sebagai Jaksa AS untuk Manhattan pada Januari lalu.
Ia bukan satu-satunya yang mundur akibat kasus Adams. Setidaknya enam pegawai Departemen Kehakiman lainnya, termasuk Asisten Jaksa AS Hagan Scotten, mengambil langkah serupa.
Baca Juga:
Jaksa Tolak Pleidoi, Kuasa Hukum Supriyani Tetap Yakin Akan Putusan Bebas
Sejumlah akademisi hukum melihat intervensi ini sebagai tanda bergesernya prinsip hukum di AS. Profesor Ilya Somin dari Universitas George Mason memperingatkan bahwa supremasi hukum semakin dikesampingkan demi kepentingan politik.
Jaksa Agung pilihan Trump, Pam Bondi, membela langkah tersebut dan menyatakan bahwa jaksa yang menolak kebijakan pemerintah bisa dipecat.
Deputi Jaksa Agung Emil Bove bahkan menuduh Sassoon dan jaksa lain melanggar sumpah jabatan karena menolak mengikuti instruksi.
Baca Juga:
Jaksa Bidik Proyek PSU Milik Suku Dinas PRKP Jakarta Pusat
Dalam surat pengunduran dirinya, Sassoon menegaskan bahwa tugasnya adalah menegakkan hukum secara adil. Ia menolak tunduk pada tekanan politik yang bertujuan membatalkan dakwaan tanpa dasar hukum yang jelas.
Kasus ini mengingatkan pada "Saturday Night Massacre" pada 1973, saat sejumlah pejabat Departemen Kehakiman mengundurkan diri karena menolak perintah Presiden Richard Nixon dalam skandal Watergate.
Para pakar hukum memperingatkan bahwa dampak dari kasus ini belum akan mereda. Pengunduran diri lebih lanjut mungkin akan terjadi, sementara pemerintahan Trump terus berupaya menekan aparat hukum untuk menjalankan kebijakan politiknya.