WahanaNews.co | Rektor baru Universitas Kabul yang berasal dari pejabat Taliban menyampaikan pengumuman di awal pekan ini, perempuan akan dilarang belajar di institusi pendidikan tersebut, baik sebagai mahasiswa maupun dosen.
“Saya berjanji sebagai rektor Universitas Kabul,” kata Mohammad Ashraf Ghairat di Twitter pada Senin.
Baca Juga:
Ledakan di Masjid Afghanistan Telan 3 Korban Jiwa
“Sepanjang lingkungan Islami tidak mendukung bagi semua orang, perempuan tidak akan diizinkan masuk kampus atau bekerja. Islam yang utama,” lanjutnya, dikutip dari The New York Times, Rabu (29/9).
Kebijakan baru universitas ini sama ketika Taliban pertama kali berkuasa pada 1990-an, di mana perempuan saat itu hanya diizinkan keluar jika ditemani mahramnya atau pendamping keluarga laki-laki dan dilarang sekolah.
Beberapa pegawai perempuan, yang bebas bekerja dalam dua dekade terakhir, melawan perintah baru tersebut, mempertanyakan gagasan Taliban yang memonopoli dalam mendefinisikan Islam.
Baca Juga:
Ledakan di Masjid Kabul Telan Korban Jiwa
“Di tempat yang suci ini, tidak ada yang tidak Islami,” kata seorang dosen perempuan yang tidak mau disebutkan namanya kepada The New York Times.
“Presiden, para guru, insinyur, dan bahkan para mullah dididik di sini dan bermanfaat untuk masyarakat,” lanjutnya.
“Universitas Kabul adalah rumah bagi bangsa Afghanistan.”
Dua pekan lalu, Taliban mengganti rektor Universitas Kabul. Ghairat (34), pejabat baru yang ditunjuk, pernah menyebut sekolah-sekolah di negaranya sebagai “pusat prostitusi”.
“Tidak ada harapan, seluruh sistem pendidikan tinggi runtuh,” kata Hamid Obaidi, mantan juru bicara Kementerian Pendidikan Tinggi yang juga dosen Fakultas Jurnalisme Universitas Kabul.
“Segalanya dirusak.”
Puluhan ribu mahasiswa universitas negeri diam di rumah karena kampus mereka ditutup. Universitas Amerika Afghanistan yang merupakan investasi AS senilai USD 100 juta telah dilarang sepenuhnya dan diambil alih Taliban.
Para profesor dan doses dari seluruh negeri, banyak yang lulusan luar negeri, mundur dari jabatannya untuk mengantisipasi regulasi ketat Taliban.
Pemerintahan Taliban kemudian menunjuk para tokoh agama, yang memiliki minim pengalaman dalam bidang pendidikan, memimpin lembaga-lembaga tersebut.
Sebagai aksi perlawanan simbolik, serikat guru Afghanistan mengirim surat pekan lalu kepada pemerintah menuntut pembatalan penunjukan Ghairat. Di media sosial, Ghairat juga menuai kritik karena minim pengalaman akademis.
Dihubungi New York Times, kawan-kawan yang pernah sekelas dengan Ghairat menyebutnya mahasiswa yang tersisih karena pandangan ekstremisnya yang mempermasalahkan teman sekelas dan dosen perempuan.
“Saya bahkan belum mulai bekerja. Bagaimana mereka tahu jika saya memenuhi syarat atau tidak? Biarkan waktu yang menjawab,” ujar Ghairat dalam wawancara dengan New York Times.
Dia menambahkan, bekerja 15 tahun dalam bidang urusan budaya untuk Taliban membuatnya menjadi kandidat sempurna untuk jabatan tersebut.
Sementara itu, kepala juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid mengatakan pengumuman Ghairat yang melawang perempuan kembali ke Universitas Kabul bisa jadi hanya pandangan pribadinya.
Namun Mujahid tidak memberikan jaminan kapan larangan tersebut akan dicabut, mengatakan sampai Taliban bekerja untuk merancang “sistem transportasi yang lebih aman dan lingkungan di mana siswa perempuan dilindungi.” [rin]