WahanaNews.co | Timothy Cho dan Jihyun Park melarikan diri dari kelaparan, status
sebagai tunawisma, dan penjara di Korea Utara (Korut).
Kini, keduanya
bersaing sebagai kandidat dalam pemilihan lokal di Inggris, bulan ini.
Baca Juga:
Pasukan Korea Utara Diam-diam Bantu Rusia Libas Ukraina
Mereka disebut-sebut sebagai pembelot
Korea Utara pertama dalam sejarah yang mencalonkan diri di negara demokratis
selain Korea Selatan.
Cho dan Park menceritakan kepada BBC tentang pelarian mereka yang berani,
perjalanan sulit ke Inggris, dan alasan terjun ke politik Inggris.
Baca Juga:
Korut Tantang AS-Korsel, Kim Jong-un Pamer Kapal Selam Nuklir di Tengah Latihan Militer
Kabur atau Mati
Jihyun Park dengan adik laki-lakinya
berdiri sembari menatap ke arah perbatasan China.
Park melihat bahwa tidak ada lagi
pilihan. Ayahnya sakit parah dan pamannya meninggal karena kelaparan.
Dia dihadapkan pada dua opsi:
melarikan diri ke China atau mati kelaparan di Korea Utara.
Saat itu tahun 1998, dan Korea Utara
tengah mengalami kelaparan nasional yang parah.
Uni Soviet ambruk, sehingga tidak lagi memberikan bantuan krusial.
Total warga Korea Utara yang mati
kelaparan tidak diketahui, tetapi perkiraan berkisar hingga tiga juta orang.
Melarikan diri tidak lantas membuat
semuanya selesai dan bahagia.
Setibanya di China, Park dijual oleh
pedagang manusia dengan harga sekitar Rp 10 juta ke seorang petani untuk dipaksa
menikah.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan, banyak perempuan Korea Utara diculik dan dipaksa menikah dengan
pria China, seperti Park.
Para perempuan itu pun menjadi
terjebak, karena jika tertangkap pihak berwenang, mereka akan dideportasi
kembali ke Korea Utara.
Perbudakan dan Penjara
Selama hidup seperti budak dalam
keluarga di China, Park melahirkan seorang putra dari suami yang pecandu
alkohol.
Park dan anak laki-lakinya yang
tinggal secara ilegal pun selalu bersembunyi agar tidak ditangkap dan dikirim
kembali ke Korea Utara.
Namun, setelah lima tahun hidup
sengsara, dia ditangkap oleh otoritas China dan dideportasi ke Korea Utara.
Park dipisahkan secara paksa dari
putranya.
China mendeportasi warga Korea Utara
karena melihat mereka sebagai imigran gelap alih-alih pengungsi --meskipun Konvensi PBB tentang Pengungsi tahun 1951 telah melarang
pemulangan pengungsi ke negara di mana mereka menghadapi risiko penganiayaan
atau penyiksaan.
"Saya menderita karena terpisah
dengan keluarga baik di Korea Utara dan China, dan saya tahu betapa menyakitkan
itu," kata Park kepada BBC.
Pada tahun 2004, Park dideportasi ke
Korea Utara dan dipenjara di kamp kerja paksa.
Di sana, dia
mengalami penyiksaan dan penganiayaan.
Kondisi di kamp menyebabkan ia
menderita penyakit gangrene yang
parah --matinya jaringan tubuh akibat tidak mendapat pasokan darah-- di kakinya.
Park pun hampir mati dan tidak dapat
bekerja, dia kemudian dibebaskan.
Di saat kesehatannya perlahan membaik
karena bantuan orang asing, Park kembali memutuskan untuk mempertaruhkan
nyawanya dengan menyeberang ke China --hatinya sakit melihat kondisi putra yang ditinggalkan.
Park memutuskan melarikan diri untuk
kedua kalinya demi dapat bersatu dengan putranya --yang telah ditelantarkan oleh keluarga suaminya.
Rumah Baru
Pada tahun 2005, dia bertemu dengan
suaminya yang tengah berupaya menempuh perjalanan ke
Mongolia bersama para pengungsi Korea Utara lainnya.
Setelah menderita kelaparan yang parah
di gurun selama berhari-hari, mereka kembali ke Beijing dan menyembunyikan diri
dari aparat keamanan sampai seorang pendeta Korea Selatan memandu mereka ke
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Keluarga tersebut akhirnya diberikan
suaka dan menetap di Inggris pada tahun 2008.
Namun, tidak mudah bagi mereka untuk
menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang penuh kesulitan, termasuk kendala bahasa.
"Saya menghabiskan 13 tahun di
Bury (barat laut Inggris). Tinggal di lingkungan ini, saya dibantu oleh banyak
orang tanpa prasangka [meskipun] saya tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali.
Ketika mereka mengatakan 'selamat datang' kepada saya dengan kehangatan, air
mata saya mengalir dan saya mendapatkan banyak keberanian dengan kata-kata itu," kisahnya.
Berprofesi sebagai guru di Korea
Utara, Park bekerja di restoran Korea di Manchester dan belajar bahasa Inggris
di pusat pembelajaran orang dewasa.
Dia telah menjadi aktivis hak asasi
manusia Korea Utara, dan mulai membantu pengungsi Korea Utara lainnya untuk
menetap di Inggris.
Ketika dia bergabung dengan Partai
Konservatif pada tahun 2016, beberapa orang mempertanyakan mengapa dia mengambil
keputusan tersebut.
Park mengatakan, ia menghargai
kebebasan lebih dari apapun, dan dia percaya bahwa kebebasan dan
kehidupan keluarga adalah nilai inti dari Partai Konservatif.
Partai itu kini telah memilih Park
sebagai salah satu kandidat dalam pemilihan lokal bulan ini.
"Sebagai seorang kandidat, saya
pikir kekuatan saya adalah kebebasan. Orang sering berbicara tentang kebebasan,
tetapi saya pikir tidak banyak orang yang tahu apa artinya sebenarnya. Saya
pernah tinggal di Korea Utara dan China, dan saya tahu apa arti kebebasan yang
sebenarnya. Kebebasan adalah mengetahui siapa diri kita, dan itulah nilai yang
paling penting," ujarnya.
Pengemis Anak
Timothy Cho, 33, dulu tinggal di
jalanan Korea Utara sebagai anak tunawisma --yang
dikenal sebagai kotjebi-- selama kelaparan dahsyat melanda negara itu.
Anak yatim piatu itu hidup di jalanan
mencari makanan dan tempat berlindung sebelum membelot ke China pada tahun
2004.
"Saya terpisah dari orangtua sejak
kecil. Mereka adalah guru dan ayah saya mengajar sejarah di sekolah. Tapi ayah
merasa malu mengajar sejarah palsu sehingga mendapat masalah. Jadi, mereka
harus melarikan diri dari desa, dan saya ditinggalkan sendirian," kata Cho.
Banyak yang mati selama kelaparan
dahsyat di Korea Utara pada 1990-an, dan Cho berjuang keras mencari kerabat
untuk membantunya.
Setelah bertahun-tahun di jalan, dia
pergi ke rumah neneknya untuk membantunya bertani, tetapi dia segera menyadari
bahwa hanya ada sedikit harapan baginya --dia akan
selalu dikenal sebagai anak seorang "pengkhianat".
"Saya termasuk dalam kelompok
yang paling dibenci di Korea Utara karena ayah saya. Suatu kali saya memberi
tahu guru dengan berlinang air mata bahwa meskipun ayah saya seorang
pengkhianat, itu tidak berarti saya juga. Tapi mereka tidak mendengarkan," kisahnya.
Cho memutuskan untuk melarikan diri
dari Korea Utara --keputusan yang sangat menyakitkan
tanpa ada prospek untuk kembali.
Remaja laki-laki itu berhasil
melintasi perbatasan China dan tidak tahu apa yang akan terjadi di depannya.
Saat mencoba melintasi perbatasan
Mongolia, Cho ditangkap oleh polisi, dipulangkan ke Korea Utara dan
dipenjarakan.
Kondisi di penjara membuatnya
mengalami trauma jangka panjang, hingga sekarang.
"Hal yang paling menakutkan
adalah mendengar jeritan tahanan di penjara. Dipukul sampai mati lebih
menakutkan daripada mati karena kelaparan. Trauma itu berlangsung begitu lama --bahkan setelah saya menetap di Inggris, saya sering terbangun di
malam dan bertanya-tanya di mana saya berada. Saya merasa seperti saya bisa
mendengar suara jeritan orang-orang yang dipukuli di sana," kata Cho.
Dia selamat dari penjara, dan berhasil
kembali ke China, tetapi ditangkap untuk kedua kalinya.
Namun, media asing melaporkan kisah
pengungsi Korea Utara yang menunggu pemulangan paksa --termasuk
dirinya-- dan pihak berwenang China diyakinkan untuk tidak mengirim mereka
kembali ke Korea Utara.
"Tidak ada yang bisa saya lakukan
selain berdoa, dan saya masih berpikir itu adalah mukjizat," tambah Cho.
Terjun Politik
Pada 2008, Cho diterima sebagai
pengungsi di Inggris dan menemukan kehidupan baru.
Sama seperti Park, dia mengalami
kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat baru.
Menunggu pendaftaran sekolah, Cho
bergabung dengan kelompok relawan yang membantu para tunawisma.
"Begitulah cara saya belajar
bahasa Inggris untuk pertama kalinya, hidup dengan tunawisma yang berada dalam
situasi yang sama seperti saya sebelumnya," katanya.
Kemudian dia mulai belajar politik dan
memperoleh gelar master dalam Hubungan Internasional dan Keamanan di
Universitas Liverpool.
Setelah menyelesaikan gelar tersebut,
ia terjun ke dunia politik sebagai asisten anggota Parlemen Inggris pada tahun
2018.
Saat ini, ia
menjabat sebagai panitera untuk All-Party
Parliamentary Group on North Korea.
"Saat mempelajari politik dan
struktur sosial, saya melihat rasa sakit di semenanjung Korea. Saya memahami
faktor politik dan ideologis, seperti mengapa dibagi menjadi dua, mengapa
Selatan menjadi negara demokratis, sedangkan Utara tetap menjadi negara
komunis," kata Cho.
Bekerja dalam politik, Cho terkagum
oleh praktik politik Inggris yang meminta dukungan pemilih dengan mengunjungi
tetangga dari pintu ke pintu.
Tahun ini, Cho mulai meminta dukungan
untuk dirinya sendiri, saat ia ditunjuk sebagai kandidat dari Partai
Konservatif untuk kursi dewan di utara Inggris.
"Pepatah favorit saya adalah
'abdi masyarakat, pelayan orang-orang dalam masyarakat'. Politikus lokal di
Inggris adalah seorang pembawa pesan. Saya ingin pergi ke sana dan bekerja atas
nama tetangga saya," ujarnya.
Terlepas dari hasil pemilihan ini, Cho
berniat untuk terus bekerja membantu rakyat Korea Utara dengan cara apapun yang
ia bisa.
Cho ingin mengabdikan dirinya untuk
membawa perdamaian ke semenanjung Korea, dan belajar politik adalah salah satu
cara untuk mengembangkan kemampuannya guna mencapai tujuan itu.
"Saya tumbuh tanpa keluarga.
Jadi, saya tumbuh tanpa mengetahui siapa saya. Saya pikir komunitas yang sehat
dimulai dengan keluarga yang sehat, dan komunitas yang sehat membuat negara
yang kuat," kata Cho. [qnt]