WahanaNews.co |
Bank asal Jerman, Deutsche Bank, memberikan sebuah peringatan bagi
perekonomian dunia.
Mereka menyatakan, kebijakan yang fokus pada
stimulus sambil mengabaikan ancaman inflasi, bakal menjadi sebuah "bom" yang melahirkan
resesi.
Baca Juga:
Ngeri, Di Hari Kemerdekaan AS Ramai Penembakan Massal Bunuh Warga
Mengutip CNBC International, analisis
ini terutama menunjuk pada kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The
Fed, yang akan mentolerir inflasi lebih tinggi demi pemulihan penuh dan
inklusif.
Mereka berpandangan, niat The Fed untuk
tidak memperketat kebijakan sampai inflasi menunjukkan kenaikan yang
berkelanjutan tersebut, bakal berdampak mengerikan.
"Konsekuensi dari penundaan itu akan
menjadi gangguan yang lebih besar pada aktivitas ekonomi dan keuangan ketimbang
jika The Fed bertindak," kata Kepala Ekonom Deutsche, David
Folkerts-Landau, dikutip Selasa (8/6/2021).
Baca Juga:
PM Inggris Katakan China Ancaman Terbesar Bagi Ekonomi Dunia
"Pada gilirannya, ini dapat menciptakan
resesi yang signifikan, dan memicu rantai kesulitan keuangan di seluruh dunia,
terutama di pasar negara-negara berkembang," tandasnya.
Sebagai bagian dari pendekatannya terhadap
inflasi itu, The Fed tidak akan menaikkan suku bunga atau membatasi
program pembelian asetnya dulu, sampai mereka melihat adanya "kemajuan
lebih lanjut yang substansial" menuju tujuan inklusifnya.
Padahal, beberapa indikator, seperti harga
barang konsumen dan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi, kini sudah jauh
di atas sasaran inflasi dari The Fed sendiri, yakni 2%.
Para pembuat kebijakan The Fed
mengatakan, kenaikan inflasi saat ini bersifat sementara, dan akan mereda
setelah gangguan pasokan dan efek dasar dari bulan-bulan awal krisis pandemi
virus Corona hilang.
Namun, ekonom Deutsche Bank tadi tidak
setuju, dengan mengatakan bahwa stimulus agresif dan perubahan ekonomi mendasar
justru akan menghadirkan inflasi yang sangat buruk ke depannya.
"Mungkin butuh satu tahun lebih lama,
hingga 2023, tetapi inflasi akan muncul kembali. Boleh jadi, ini adalah
kesabaran yang mengagumkan. Namun, faktanya, prioritas The Fed yang bergeser
ke arah tujuan sosial itu, juga mengabaikan inflasi, membuat ekonomi global kini
seolah duduk di atas bom waktu," tambah Folkerts-Landau.
"Efeknya bisa sangat menghancurkan,
terutama bagi kelompok masyarakat yang paling rentan," tegasnya.
Akan tetapi, pendapat ekonom Deutsche Bank
ini tidak banyak mendapat persetujuan dari Wall Street.
Jan Hatzius, Kepala Ekonom di Goldman Sachs,
mengatakan, ada "alasan kuat" untuk mendukung posisi The Fed.
Salah satu yang ia kutip adalah ditingkatkannya
kemungkinan mengakhiri tunjangan pengangguran.
Menurutnya, kebijakan ini akan mendorong
pekerja kembali ke pekerjaan mereka dalam beberapa bulan mendatang.
"Semua ini menunjukkan bahwa pejabat The
Fed tetap dengan rencana semula mereka, yakni keluar secara bertahap dari
sikap kebijakan saat ini yang serba memudahkan," tulis Hatzius.
Bagi Deutsche Bank, pandangan Hatzius itu
pun masih dapat dipatahkan.
Mereka mengutip, stimulus mega jumbo yang
disetujui Kongres, yakni senilai US$ 5 triliun, baru bisa didistribusikan
dengan baik ketika pertumbuhan ekonomi diprediksi sudah mencapai 10%.
"Belum pernah kita melihat kebijakan
fiskal dan moneter ekspansif yang terkoordinasi seperti itu. Ini akan berlanjut
ketika output bergerak di atas potensi," ujar Folkers-Landau lagi.
"Itulah mengapa kali ini (kebijakan The
Fed) berbeda untuk inflasi," imbuhnya.
Tim Deutsche mengatakan, inflasi yang
akan datang dapat menyerupai pengalaman tahun 1970-an, satu dekade di mana
inflasi rata-rata hampir 7% dan mencapai dua digit pada waktu-waktu tertentu.
Pada saat itu, melonjaknya harga makanan dan
energi, yang terjadi secara bersamaan dengan berakhirnya kontrol harga,
membantu mendorong lonjakan inflasi.
"Sudah banyak sumber kenaikan harga yang masuk
ke ekonomi AS. Bahkan, jika pun lonjakan itu hanya bersifat sementara, atau
sekadar catatan di atas kertas, maka situasinya mungkin bakal mengulang lagi
apa yang terjadi di tahun 1970-an," kata salah satu tim Deutsche Bank.
"Risikonya kemudian, bahkan jika pun
lonjakan itu hanya tertanam selama beberapa bulan, hal tersebut mungkin bakal sulit
untuk dibendung lagi, terutama dengan adanya (kebijakan) stimulus yang begitu
tinggi," tegasnya. [qnt]