WahanaNews.co | Awal
pekan ini, Korea Selatan (Korsel) dan Amerika Serikat (AS) menggelar latihan
militer bareng. Rupanya, di China, pasukan militer China dan Rusia juga
menggelar latihan militer gabungan dalam skala besar.
ass="MsoNormal">
Baca Juga:
Pjs. Gubernur Kaltara Togap Simangunsong Terima Kunjungan Investor Korea Selatan Oktober 2024
Dilansir AFP, Selasa (10/8/2021) militer Korsel dan AS memulai
latihan awal pada Selasa (10/8) waktu setempat. Latihan awal itu dilakukan
menjelang latihan gabungan tahunan yang digelar pekan depan.
Korsel dan AS merupakan sekutu perjanjian, di mana AS
menempatkan sekitar 28.500 tentara di wilayah Korsel untuk membela negara itu
dari negara tetangga, Korea Utara yang memiliki kemampuan nuklir.
Kedua negara sebelumnya mengurangi latihan gabungan tahunan
semacam ini demi memfasilitasi perundingan nuklir dengan Korut.
Baca Juga:
Krisis Kelahiran di Korut: Pemerintah Penjarakan Dokter Aborsi dan Sita Alat Kontrasepsi
Merespons latihan militer itu, Kim Yo-Jong, adik pemimpin
Korut, Kim Jong-Un, menuduh otoritas Korsel berkhianat karena tetap menggelar
latihan militer gabungan dengan AS.
Kim Yo-Jong kemudian memperingatkan bahwa Korsel dan AS akan
menghadapi ancaman keamanan lebih besar. Ancaman ini disampaikan Kim Yo-Jong
setelah Korsel dan Korut pada bulan lalu menyepakati pemulihan komunikasi
lintas perbatasan yang terputus sejak setahun lalu. Diumumkan juga bahwa
pemimpin kedua negara sepakat berupaya meningkatkan hubungan.
Latihan militer Korsel dan AS yang tetap digelar itu membuat
Kim Jong-Un mengecam Korsel. Dia menyebut latihan militer gabungan itu "berbahaya".
Sejak lama, Korut menganggap latihan gabungan semacam itu sebagai latihan untuk
menginvasi wilayahnya.
Kim Yo-Jong menyebut latihan gabungan itu merupakan
"tindakan yang tidak diinginkan, yang menghancurkan diri sendiri" yang
mengancam rakyat Korut dan meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea.
"Amerika Serikat dan Korea Selatan akan menghadapi
ancaman keamanan yang lebih serius dengan mengabaikan peringatan berulang kali
dari kami dengan melanjutkan latihan perang yang berbahaya," sebut Kim
Yo-Jong.
Sementara itu, di wilayah China bagian barat laut pasukan
militer China dan Rusia menggelar latihan militer gabungan skala besar. Latihan
gabungan ini akan melibatkan lebih dari 10.000 personel militer kedua negara.
Dilansir Reuters dan Associated Press, Selasa (10/8),
latihan militer gabungan yang bernama Sibu/Cooperation-2021 ini dipandang
sebagai pertanda bahwa China dan Rusia tengah memperluas kerja sama militer
saat kedua negara sama-sama berselisih dengan Barat.
Dalam laporan kantor berita Xinhua latihan militer gabungan
ini dimulai sejak Senin (9/8) waktu setempat. Latihan ini dipimpin oleh Li
Zuocheng, anggota Komisi Militer Pusat pada Partai Komunis yang berkuasa di
China.
"Bertujuan untuk memperdalam operasi anti-terorisme
gabungan antara militer China dan Rusia dan menunjukkan tekad teguh dan kuat
dari kedua negara untuk bersama-sama menjaga keamanan dan stabilitas
internasional dan regional," demikian seperti dilaporkan Xinhua yang
mengutip pejabat China dan Rusia.
"Ini mencerminkan ketinggian baru dari kemitraan
koordinasi strategis komprehensif Rusia-China untuk era baru dan kepercayaan
strategis, pertukaran pragmatis, dan koordinasi antara kedua negara,"
imbuh laporan Xinhua tersebut.
Surat kabar Rusia, Kommersant, secara terpisah melaporkan
bahwa latihan militer gabungan ini akan berlangsung hingga Jumat (13/8)
mendatang. Dalam latihan gabungan ini juga disebutkan tentara Rusia untuk
pertama kalinya akan menggunakan persenjataan China. Kedua negara diketahui
telah menggelar latihan militer gabungan sejak tahun 2005.
Kementerian Pertahanan Rusia dalam pertanyaannya menyebut
militer Rusia mengirimkan jet tempur Sukhoi Su-30SM, unit senapan bermotor dan
sistem pertahanan udara dalam latihan gabungan itu. Latihan ini, disebutkan
bahwa latihan fokus pada pemberantasan terorisme.
Latihan gabungan China-Rusia ini digelar saat kelompok
Taliban semakin menguasai wilayah-wilayah strategis di Afghanistan, yang
situasi keamanannya memburuk sejak Amerika Serikat (AS) menarik pasukannya usai
dua dekade berperang di sana. Penarikan tentara itu memicu kekhawatiran
keamanan bagi Rusia.
Sedangkan wilayah Xinjiang diketahui berbagi perbatasan
dengan Afghanistan, China mengkhawatirkan kekerasan yang menyelimuti
Afghanistan akan meluas hingga ke perbatasan, jika Taliban berhasil merebut
kendali usai penarikan tentara AS. [qnt]