WAHANANEWS.CO, Jakarta - Serangan Israel terhadap Gaza dan meluas ke wilayah lain di Palestina telah berlangsung selama satu tahun.
Serangan tersebut terus dilakukan, mengakibatkan semakin banyak korban jiwa dan kehancuran bangunan.
Baca Juga:
Netanyahu Resmi Jadi Buronan Setelah ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan
Namun, dampaknya juga terasa pada keuangan Israel. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan Israel, hingga Agustus 2024, negara tersebut telah mengeluarkan 100 miliar shekel (USD 26,3 miliar).
Jika dikonversi ke rupiah dengan kurs Rp 15.686 per dolar AS, jumlahnya mencapai sekitar Rp 412,54 triliun.
Akibat perang ini, rasio utang Israel terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) meningkat menjadi 67 persen, dan defisit pemerintah mencapai 8,3 persen dari PDB, jauh melampaui target 6,6 persen yang diproyeksikan sebelumnya.
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, mengakui bahwa perang ini sangat mahal, tetapi dia tetap optimis bahwa keuangan Israel masih stabil.
"Ekonomi Israel kuat, dan peringkat kredit kami akan pulih setelah perang usai. Biaya perang sangat besar karena sistem pertahanan Iron Dome, mobilisasi pasukan secara besar-besaran, dan pengeboman yang intensif," ujarnya dikutip dari Reuters, Senin (7/10/2024).
Di sisi lain, meningkatnya biaya perang menimbulkan kekhawatiran di Bank Sentral Israel (Bank of Israel).
Mereka memperkirakan pengeluaran perang bisa meningkat hingga 250 miliar shekel pada akhir 2025. Angka ini belum termasuk biaya tambahan jika Israel memperluas serangan ke Lebanon.
Situasi ini juga memicu kekhawatiran di kalangan investor.
Sergey Dergachev, manajer portofolio di Union Investment, menyatakan bahwa meskipun rasio utang Israel terhadap PDB masih 62 persen tahun lalu, kebutuhan pinjaman yang melonjak menyebabkan rasio utang meningkat menjadi 67 persen.
"Selama perang terus berlanjut, utang Israel akan semakin memburuk. Meskipun Israel memiliki fundamental ekonomi yang baik, kondisi ini tetap memberatkan dari segi fiskal dan bisa memengaruhi peringkat kredit negara," kata Sergey.
Kekhawatiran ini terbukti dari keputusan lembaga pemeringkat global, Fitch Ratings, yang menurunkan peringkat kredit Israel dari 'A+' menjadi 'A', dengan prospek yang tergolong negatif.
Penurunan ini mencerminkan dampak dari berlanjutnya serangan, meningkatnya risiko geopolitik, dan operasi militer di berbagai wilayah.
Situasi ini juga menyebabkan investor asing mulai melepas obligasi Israel, termasuk dari dana pensiun dan aset besar, karena peningkatan rasio utang terhadap PDB.
Selain itu, serangan Israel menyebabkan kerusakan lingkungan di Palestina, termasuk polusi udara yang parah.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]