WahanaNews.co, Jakarta - Baru-baru ini dua perempuan lansia dibebaskan milisi Hamas Palestina usai disandera sejak perang pecah ternyata sempat ditolak oleh Israel.
Diberitakan Al Jazeera, Yocheved Lifshitz (85) dan Nurit Cooper (79) merupakan sandera Hamas yang dibebaskan pada Senin (23/10) karena hasil mediasi dari Qatar dan Mesir.
Baca Juga:
Kabinet Perang Netanyahu Guncang, Menteri Benny Gantz Ancam Mundur
Keduanya baru dibebaskan setelah pembicaraan panjang dan sempat ditolak oleh Israel.
Juru bicara Hamas, Abu Obeida, mengatakan kelompoknya sudah menawarkan pembebasan dua tawanan ini bersama dengan Judith Raanan dan Natalie Raanan, ibu dan anak warga Amerika Serikat yang dibebaskan pertama pada Jumat (20/10) lalu. Namun, Israel menolak menerima dua lansia ini.
Israel saat itu menyebut pembebasan mereka sebagai "propaganda palsu" Hamas dan menduga bahwa Hamas berusaha memperbaiki citranya yang rusak usai serangkaian tindakan yang diklaim Israel dilakukan secara keji terhadap warga Negeri Zionis.
Baca Juga:
ABK Kapal Disandera di Perairan Kalimantan, Diselamatkan Kapal Patroli KPLP
Dalam pernyataan di Telegram, Obeida menjelaskan bahwa Hamas memutuskan membebaskan kedua lansia ini karena "alasan kemanusiaan dan kesehatan yang buruk."
Pembebasan kedua lansia ini pun telah dikonfirmasi oleh Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
"Kami berharap mereka akan segera kembali dengan orang yang mereka cintai," kata ICRC di X.
Hamas menangkap lebih dari 200 orang Israel, termasuk mereka yang berkewarganegaraan ganda, dalam serangan mendadak di sejumlah kota Israel pada 7 Oktober lalu.
Serangan itu menewaskan lebih dari 1.400 orang Israel, menurut pihak berwenang Tel Aviv.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berulang kali mendesak pembebasan tanpa syarat semua sandera yang ditahan di Gaza. Kelompok hak asasi manusia, organisasi internasional, dan keluarga mereka yang ditawan juga menyerukan pembebasan segera para sandera.
Di saat militer Israel tengah berupaya melancarkan invasi darat di Gaza, keluarga para tawanan Hamas ini dilema dan terbelah.
Ada yang mendesak pemerintah Israel memprioritaskan pembebasan sandera, sementara yang lain mengaku memahami fokus Israel untuk menumpas Hamas.
Mereka yang ingin keluarganya segera dibebaskan menilai bahwa pemerintah Israel perlu duduk bicara dengan Hamas alih-alih menggunakan kekerasan.
"Kita perlu bicara dengan Hamas. Kita tidak bisa selalu menggunakan perang. Kami punya banyak sekali tawanan Palestina yang dapat ditukar dengan rakyat kami yang ditahan," kata Carmel Gorni, aktivis politik yang sepupunya tewas dalam serangan.
"Jika tentara kami masuk, banyak orang yang akan tewas, termasuk para sandera."
Sementara itu, menurut sebuah laporan New York Times, Amerika Serikat juga diduga menekan Israel untuk menunda serangan darat ke Gaza demi memberikan lebih banyak waktu bagi Washington membebaskan warga negaranya.
Laporan ini dibantah oleh seorang pejabat senior Israel. Ia menegaskan AS tidak menekan Tel Aviv agar menunda serangan darat ke Gaza.
"Kami menyangkal laporan ini. Kami memiliki dialog dan konsultasi yang erat dengan pemerintah AS. AS tidak menekan Israel sehubungan dengan operasi darat," kata pejabat tersebut.
[Redaktur: Alpredo Gultom]