WAHANANEWS.CO, Jakarta - Lonjakan tajam harga beras mengguncang Jepang di tengah masa kampanye politik yang krusial.
Berdasarkan laporan resmi yang dirilis Jumat (18/7/2025), harga beras pada Juni meningkat drastis sebesar 99,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Baca Juga:
Bulog Tak Bisa Bergerak Tanpa Instruksi, Firman Minta Kebijakan Orde Baru Diterapkan Lagi
Kenaikan signifikan ini menjadi sorotan menjelang pemilihan umum yang akan digelar akhir pekan ini, sekaligus menambah tekanan politik terhadap Perdana Menteri Shigeru Ishiba.
Dikutip dari CNA, lonjakan harga tersebut bukan peristiwa tunggal. Tren kenaikan sudah berlangsung selama beberapa bulan.
Pada Mei lalu, harga beras tercatat naik hingga 101 persen, setelah melonjak 98,4 persen di April dan 92,5 persen pada bulan Maret.
Baca Juga:
Bongkar Mafia Beras Rp 99 Triliun, Mentan Amran Malah Ditegur Petinggi Negara
Situasi ini menunjukkan ketidakstabilan pasokan beras yang berlarut-larut.
Sementara itu, data dari Kementerian Urusan Dalam Negeri mencatat bahwa inflasi inti Jepang pada Juni sedikit melandai ke angka 3,3 persen, turun dari 3,7 persen pada Mei.
Meski demikian, tingkat inflasi ini masih berada sedikit di bawah proyeksi pasar sebesar 3,4 persen, menandakan tekanan harga masih tetap tinggi.
Pemerintah mengidentifikasi sejumlah faktor penyebab krisis harga beras ini.
Salah satunya adalah kerusakan tanaman akibat musim panas ekstrem yang melanda dua tahun lalu.
Suhu panas dan kekeringan panjang membuat hasil panen gagal di banyak wilayah, memperparah kelangkaan.
Tak hanya itu, muncul dugaan bahwa beberapa distributor dan pedagang telah menimbun stok beras untuk memperoleh keuntungan lebih di kemudian hari.
Keadaan menjadi semakin runyam sejak kepanikan massal tahun lalu, menyusul peringatan pemerintah terkait kemungkinan terjadinya “megagempa” yang pada akhirnya tidak terbukti.
Menanggapi kondisi darurat ini, pemerintah menerapkan kebijakan luar biasa dengan menggelontorkan cadangan darurat beras ke pasar mulai Februari.
Biasanya, langkah ini hanya diambil dalam kondisi bencana besar.
Namun, mengingat situasi yang mengancam ketahanan pangan, langkah tersebut dinilai perlu untuk menstabilkan pasokan dan harga.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]