WahanaNews.co | Bagi Amerika Serikat (AS), China selalu jadi musuh yang menebar ancaman bagi keberlangsung dominasi Barat. Terlebih, China memiliki kekuatan militer yang begitu disegani oleh AS dan sekutunya.
Dalam satu dekade terakhir ini, China sudah berinvestasi dalam persenjataan dan peralatan canggih. Mulai dari misil hipersonik hingga memproduksi pesawat tempur dan kapal selam. Mereka juga telah merombak struktur komando militernya untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Pengembangan militer China didukung pertumbuhan ekonomi negara itu yang sangat pesat. Upaya memperluas perdagangan juga didukung penuh dengan penguatan militer.
Melansir Sindonews, berikut 4 alasan kenapa AS ketar-ketir terhadap kekuatan militer China yang terus berkembang.
1. Senang Pamer Kekuatan Militer
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Presiden China Xi Jinping menunjukkan keinginan yang meningkat untuk mendukung klaimnya atas wilayah yang disengketakan, mulai dari Taiwan, Laut China Selatan, dan Jepang. China kerap mengirimkan armada militernya ke wilayah yang rawan konflik tersebut.
Itu mendorong AS ikut intervensi. “Suara-suara yang meyakini potensi konflik China-AS di Laut China Selatan sebagian besar berasal dari fakta bahwa AS sekarang melihat China sejajar karena tentara yang terakhir tumbuh,” kata Yin Dongyu, analis militer China berbasis di Beijing, dilansir Al Jazeera.
Ingin membendung pengaruh China, AS mengirimkan banyak kapal perang untuk berlayar ke Laut China Selatan dan Selat Taiwan. Itu sebagai penegasan tentang hak navigasi di perairan internasional.
AS membentuk AUKUS — aliansi keamanan baru dengan Inggris dan Australia. Itu menjadikan Australia memperoleh kapal selam bertenaga nuklir dari Washington. Washington juga telah meningkatkan penjualan senjata ke Taiwan, yang memodernisasi militernya dan mengembangkan apa yang disebut kemampuan perang asimetris.
2. Didukung Teknologi Militer Canggih
Dalam Laporan Kekuatan Militer China oleh Pentagon, lebih dari 915.000 tentara tugas aktif di jajarannya. Itu lebih banyak dibandingkan jumlah tentara AS, sekitar 486.000. Mereka juga senjata berteknologi tinggi.
Pada 2019, rudal balistik antarbenua DF-41 bisa menghantam seluruh penjuru dunia. China telah menguji senjata hipersonik. Bahkan, Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLAN) menjadi angkatan laut terbesar di dunia karena kapal selamnya memiliki kemampuan untuk meluncurkan rudal bersenjata nuklir.
Untuk mendukung angkatan laut, China juga memiliki apa yang disebut milisi maritim, yang didanai oleh pemerintah dan dikenal sebagai "pria biru kecil", yang aktif di Laut China Selatan.
“Kekuatan militer China telah ditingkatkan secara signifikan dengan sejumlah besar senjata baru yang ditambahkan ke gudang senjata, terutama di Angkatan Lautnya,” kata Yin. “Di situlah tentara negara menunjukkan beberapa pertumbuhan tercepatnya.”
Angkatan Udara China juga telah tumbuh menjadi yang terbesar di kawasan Asia-Pasifik dan terbesar ketiga di dunia, dengan lebih dari 2.500 pesawat dan sekitar 2.000 pesawat tempur. Mereka memiliki armada jet tempur siluman, termasuk J-20, pesawat perang China yang paling canggih. Itu dikembangkan dan dirancang secara independen untuk bersaing dengan F-22 buatan AS.
Secara global, China juga meningkatkan ekspor senjata ke negara berkembang lainnya dengan tujuan mengembangkan hubungan yang lebih hangat dengan negara sahabat di tengah persaingan regional. Menurut Stockholm International Peace Research Institute, ekspor senjata China sebagian besar dikirim ke Pakistan, Bangladesh, dan Aljazair selama dekade terakhir.
Selama periode waktu yang sama, China juga telah menjadi salah satu pengekspor kendaraan udara tak berawak (UAV) bersenjata terkemuka di dunia, umumnya dikenal sebagai drone, dengan pelanggan termasuk Uni Emirat Arab dan Arab Saudi.
“Banyak UAV diekspor ke Teluk karena Kongres AS melarang banyak negara membelinya dari AS karena masalah hak asasi manusia, dan China segera mengisi celah itu,” kata Yin.
3. Latihan Perang yang Konsisten
Tentara China sebetulnya tidak memiliki pengalaman tempur kontemporer.
“Tahun 1979 ketika China terakhir kali terlibat dalam konflik dunia nyata – dan itu terjadi di Vietnam,” jelas Shi Yang, analis militer China berbasis di Beijing. “Tanpa berperang nyata, beberapa orang mungkin berpendapat bahwa [PLA] mungkin tidak dapat memenuhi harapan," tuturnya.
Sebagai solusi, militer masih menyelenggarakan berbagai latihan yang menyerupai pertempuran nyata. Mereka kerap melakukan simulasi seperti pengepungan Taiwan hingga latihan perang bersama anggota aliansinya.
“Kekuatan militer tentara China dalam konflik modern sebagian besar akan bergantung pada teknologi, yang telah dengan mantap bergerak menuju arah yang benar,” kata Shi.
4. Mengadopsi Sistem Komando Militer AS
Presiden Xi telah mengambil sejumlah langkah yang ditujukan untuk mengatasi beberapa kekurangan militer. Meniru dari militer AS, ia telah membentuk struktur tentara baru yang memberi Komisi Militer Pusat, yang diketuai oleh presiden, kepemimpinan yang lebih langsung atas angkatan bersenjata.
Di bawah reformasi menyeluruh, lima "komando ", yang secara geografis terletak di seluruh negeri, didirikan pada 2016. Divisi Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara di setiap wilayah melapor langsung ke komando teater, memastikan operasi PLA terintegrasi secara lebih efektif.
Seperti diungkapkan Sekretaris Angkatan Udara AS Frank Kendall bahwa China sudah melakukan restrukturisasi militer untuk mengalahkan AS dalam peperangan. "Militer China sudah berubah drastis," katanya dilansir Air and Space Forces.
Dengan melakukan itu, China juga menikmati keuntungan karena tidak perlu membongkar organisasi yang sudah lama ada. Perombakan itu akan pasukannya lebih gesit dan efektif. Misalnya, mereka menciptakan Divisi Roket Strategis untuk mengembangkan misil jarak jauh yang mampu menjangkau AS. [eta]