WahanaNews.co | Tentara bayaran Wagner Group menjadi sorotan dunia usai melakukan pemberontakan di selatan Rusia dan hendak menyerbu ibu kota Moskow pada akhir pekan lalu.
Pada Sabtu (24/06/23), bos Wagner Yevgeny Prigozhin mengklaim berhasil menguasai fasilitas militer dan lapangan terbang di selatan Rusia, Rostov.
Baca Juga:
Inggris Bakal Anggap Tentara Bayaran Wagner Group Sebagai Organisasi Teroris
Pemberontakan Wagner Group bukan tanpa alasan. Prigozhin sebelumnya menuding pasukan Rusia menyerang kamp dan menewaskan banyak personel.
Merespons pemberontakan Wagner Group, Presiden Rusia Vladimir Putin mengecam aksi yang ia anggap sebagai bentuk pengkhianatan itu.
Ia bahkan sempat bersumpah akan menghukum Wagner Group meski akhirnya menegaskan mencabut segala tuntutan terhadap kelompok tentara swasta itu.
Baca Juga:
Perang Besar di Depan Mata, Negara-negara Afrika Barat Bersiap Gempur Niger
Apakah pemberontakan Wagner Group ini menandakan cengkeraman kekuasaan Putin di Rusia melemah atau sebaliknya?
Sejumlah pengamat menyebut pemberontakan Wagner berisiko melemahkan tangan besi Putin yang sudah memimpin Rusia selama 23 tahun.
Channel News Asia bahkan menyebut pemberontakan Wagner menandai tantangan terbesar rezim Putin dan krisis keamanan paling serius di Rusia, sejak 1999.
Direktur strategi teknologi, dan, pengendalian senjata di Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS), William Alberque, mengatakan respons Putin justru bisa melemahkan posisinya.
"Episode ini melemahkan kredibilitas Putin, yang tampak panik di televisi pada hari Sabtu [saat pidato]," kata Alberque, seperti dikutip Channel News Asia, Senin.
Ia kemudian berujar, "Semua orang di Moskow bertanya-tanya: Jika itu pemberontakan lima menit, kenapa presiden bicara soal perang?"
Pemberontakan Progzhin memang tak berlangsung lama. Ia juga menarik pasukan untuk kembali ke markas.
Pengamat Rusia dan Eurasia di IISS yang juga eks duta besar Inggris untuk Belarusia, Nigel Gould-Davies, menilai insiden itu menebarkan kecemasan yang sangat mendalam bagi elit Rusia.
"Ini satu contoh lagi, setelah peluncuran invasi ke Ukraina dan bencana perang, ini contoh Putin kehabisan waktu dan secara konsisten mengambil keputusan buruk dan membuat kesalahan," ujar Gould Davies.
Sejarah dan di waktu dan tempat lain menunjukkan bahwa seorang pemimpin personalistik yang terlihat sangat kuat seperti Putin kehilangan otoritas jika para elit Rusia tak lagi percaya pada dia.
Mereka tak percaya Putin menjaga negara agar tetap aman sekaligus melindugi kepentingan para elit itu.
"Jadi krisis langsung bisa dihindari, tetapi konsekuensi jangka panjang akan muncul dan mengubah lanskap politik Rusia, menurut saya,"ungkap Gould Davies.
Lebih lanjut, dia menerangkan kegagalan perang Rusia di Ukraina semakin menggema di Negeri Beruang Merah. Ini mulai menciptakan ketidakstabilan dan perpecahan dalam negeri.
Sementara itu, penasihat senior untuk Rusia dan Eropa di Institut Perdamaian Amerika Serikat, Donald N Jensen, menilai masa depan tampak suram bagi Putin.
"Saya pikir kita sekarang harus berbicara tentang akhir, mungkin, karir politiknya dalam beberapa minggu dan bulan mendatang," ujar Jensen.
Ia mengatakan belum melihat keseluruhan drama yang dimainkan, termasuk beberapa kesepakatan yang dimediasi Belarus. Perjanjian itu juga disebut tak banyak diketahui.
Tak lama setelah pemberontakan, Presiden Belarusia Alexander Lukashenko menawarkan kesepakatan ke Prigozhin. Ia meminta Wagner menghentikan penyerbuan agar tak terjadi pertumpahan darah.
Berdasarkan kesepakatan itu, Prigozhin juga "diasingkan" ke Belarusia dan tak dikenai hukuman.
Mulanya, Prigozhin terancam 12 hingga 20 tahun penjara karena mengancam keamanan Rusia.[eta]