Komite Nobel menganggap perang anti-Narkoba Duterte sebagai perang yang dilancarkan pemerintah terhadap penduduk sendiri.
"Ressa dan Rappler juga telah mendokumentasikan bagaimana media sosial digunakan untuk menyebarkan berita palsu, melecehkan lawan, dan memanipulasi wacana publik," papar komite tersebut menambahkan.
Baca Juga:
Barantin Sulawesi Utara Musnahkan 144 Ekor Ayam Tanpa Dokumen Karantina Resmi
Sebelum mendirikan Rappler, Ressa bekerja sebagai pemimpin reporter investigasi CNN untuk kawasan Asia Tenggara.
Selain CNN, Ressa juga pernah memimpin divisi pemberitaan di ABS-CBN dan menulis untuk The Wall Street Journal.
Sebelum Hadiah Nobel Perdamaian, Ressa juga telah menyabet sederet penghargaan, di antaranya masuk dalam 100 orang berpengaruh pada 2018 dan 2019 versi Majalah Time, penghargaan jurnalistik dari Colombia University Graduate School of Journalism, 100 Perempuan berpengaruh versi BBC pada 2019, hingga Guillermo Cano World Press Freedom Prize dari UNESCO pada April 2021.
Baca Juga:
Batak di Filipina, Satu dari 7 Suku yang Terancam Punah
"Dunia tanpa fakta berarti dunia tanpa kebenaran dan kepercayaan," kata Ressa, usai mengetahui dirinya mendapat Hadiah Nobel Perdamaian, seperti dikutip AFP.
Ressa mengaku terkejut atas penghargaan tersebut dan menegaskan bahwa dia dan medianya "akan terus melakukan apa yang telah kami lakukan saat ini". [qnt]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.