Duterte bahkan memberi kewenangan polisi untuk membunuh setiap anggota kriminal dan pengguna obat-obatan terlarang.
Hingga kini, operasi antinarkobanya itu disebut telah menghilangkan nyawa ribuan warga sipil antara 2016-2019 yang sebagian besar tanpa melalui proses peradilan jelas.
Baca Juga:
Barantin Sulawesi Utara Musnahkan 144 Ekor Ayam Tanpa Dokumen Karantina Resmi
Akibat sorotan medianya, Ressa dan Rappler tak jarang menjadi target ancaman.
Duterte bahkan pernah secara langsung mengatakan bahwa Rappler merupakan media boneka yang "sepenuhnya milik" Amerika Serikat.
Dibawah kepemimpinan Ressa, Rappler juga menjadi subjek investigasi aparat Filipina hingga akhirnya pemerintahan Duterte sempat mencabut izin media tersebut pada 2018.
Baca Juga:
Batak di Filipina, Satu dari 7 Suku yang Terancam Punah
Pada 2020, perempuan 58 tahun itu juga ditangkap dan divonis bersalah terkait Undang-Undang Fitnah di Media Sosial oleh pengadilan Filipina.
Banyak pihak, terutama aktivis HAM, menganggap vonis terhadap Ressa itu sebagai ancaman atas kebebasan berekspresi di Filipina.
"Sebagai jurnalis dan CEO Rappler, Ressa telah menunjukkan dirinya sebagai pembela kebebasan berekspresi yang tak kenal takut. Rappler telah memusatkan perhatian kritis pada kampanye anti-narkoba yang kontroversial dan mematikan dari rezim Duterte," kata Komite Nobel Norwegia.