Selain itu, Indonesia juga masih dibayangi kondisi oversupply listrik.
"Dalam kondisi sekarang mungkin sulit jual tambahan dari PLTS kecuali sebagai pengganti PLTU jika ada yang akan phase out atau phase down," terang Surya.
Baca Juga:
Tujuh Tahun Terakhir, Rasio Elektrifikasi PLN NTT Naik 34 Persen
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengungkapkan, berdasarkan jenis teknologinya, yakni kabel listrik arus searah (HVDC), maka fasilitas kabel ini besar kemungkinan tidak bisa dipakai bersama oleh Indonesia.
"Manfaat yang bisa kita dapatkan adalah jika pabrik kabel dan komponennya dibangun di Indonesia," ungkap Fabby kepada wartawan, Senin (7/2/2022).
Fabby menjelaskan, jika fasilitas pabrik HVDC dibangun di Indonesia, maka ke depannya akan ada keuntungan bagi pemerintah.
Baca Juga:
Sambut HLN Ke-79, Donasi Insan PLN Terangi 3.725 Keluarga se-Indonesia
Salah satunya untuk kebutuhan interkoneksi kelistrikan antar pulau.
Apalagi, Indonesia memiliki target untuk mencapai dekarbonisasi atau Net Zero Emission pada 2050 atau 2060 mendatang.
Sekedar informasi, Pemerintah Indonesia pada September lalu memastikan adanya investasi Australia di Indonesia senilai US$ 2,58 miliar.