WahanaNews.co | Mayoritas rakyat palestina lebih mempercayai China dan Rusia sebagai mediator untuk perundingan perdamaian mereka dengan negara Israel.
Hal itu terungkap dalam hasil survei terbaru Arab News dan YouGov.
Baca Juga:
Donald Trump Mulai Umumkan Nominasi Anggota Kabinet, Ini Daftarnya
Melansir laporan Arab News, Selasa (16/5/2023), survei yang dilakukan oleh YouGov bulan Mei atas permintaan Arab News itu menunjukkan, mediator perdamaian yang paling diinginkan oleh warga Palestina adalah Rusia, lalu Uni Eropa dan China, sementara Amerika Serikat (AS) terbukti kurang populer di antara penduduk Tepi Barat dan Gaza.
Menanggapi hasil survei tentang preferensi warga Palestina, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova menyimpulkan, "Karena Rusia tidak mengkhianati harapan mereka."
Departemen Informasi dan Pers Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan, "Moskow, seperti yang dinyatakan dalam komentar Departemen Informasi dan Pers kepada Arab News, terus berpendapat bahwa kerangka hukum internasional yang ada, inisiatif perdamaian Arab di Al-Taif, dan kerja sama yang telah dicapai antara Israel dan Palestina dalam proses negosiasi berdasarkan solusi dua negara dapat menjadi dasar bagi dilanjutkannya negosiasi langsung antara pihak-pihak yang terlibat konflik."
Baca Juga:
Prabowo Dukung Solusi Dua Negara untuk Selesaikan Konflik Palestina
"Posisi kami jelas, tidak berubah, dan tidak tergantung pada konjungtur politik," tambah Departemen Informasi dan Pers Rusia. "Kami terus berbicara tentang hal ini kepada teman-teman Palestina kami dan pihak Israel juga."
Pada bulan Oktober tahun lalu, Otoritas Palestina memberi tahu Presiden Rusia Vladimir Putin bahwa masyarakat di Palestina mungkin mempertimbangkan mediasi AS hanya jika AS menjadi bagian dari Kuartet, yaitu kelompok empat negara yang mencakup Rusia.
Setelah keberhasilan Beijing dalam memediasi kesepakatan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran pada Maret, sebanyak 80 persen responden survei, yang memberikan pendapat yang jelas tentang topik tersebut, mendukung peran China dalam perundingan perdamaian Israel-Palestina.
Melansir Kompas TV, pada bulan Desember, Presiden Xi Jinping menyatakan selama kunjungan resmi ke Riyadh bahwa negaranya ingin membantu menyelesaikan konflik antara Arab Saudi dan Iran.
Hal ini mengarah pada lima hari perundingan intensif pada bulan Maret di Beijing, yang menghasilkan kesepakatan yang melibatkan penghormatan terhadap kedaulatan negara-negara regional, pemulihan hubungan diplomatik, dan revitalisasi perjanjian bilateral yang sebelumnya disepakati antara Iran dan Arab Saudi.
Sebagai respons terhadap keberhasilan tersebut, China menawarkan pada bulan April, di tengah meningkatnya ketegangan di Yerusalem, untuk memfasilitasi pembicaraan perdamaian antara Israel dan Palestina, mendorong agar pembicaraan tersebut dilanjutkan secepat mungkin.
Berbeda dengan sikap terhadap China, hampir 60 persen peserta tidak percaya pada kemampuan AS untuk memediasi negosiasi Palestina-Israel meskipun 86 persen dari mereka meyakini bahwa AS punya pengaruh signifikan terhadap Israel.
"Dalam pandangan rakyat Palestina, AS tidak pernah dianggap sebagai mediator yang netral atau adil," kata Direktur Dewan Pengertian Arab-Britania yang berbasis di London (CAABU), Chris Doyle, menambahkan "pemimpin (Palestina) mentolerir AS karena AS dianggap sebagai adikuasa tunggal di dunia selama bertahun-tahun, (mereka) tidak memiliki pilihan lain."
Ia mengatakan kepada Arab News, "ada banyak alasan mengapa Palestina, termasuk pemimpin mereka, tidak pernah melihat AS sebagai mediator yang bertanggung jawab."
"AS secara terang-terangan menyatakan bahwa mereka pro-Israel, mereka punya aliansi strategis dengan Israel, secara rutin mengesahkan resolusi pro-Israel di Kongres, dan, tentu saja, memveto upaya mengesahkan resolusi Dewan Keamanan yang mengkritik Israel dengan segala perilakunya," jelas Doyle.
Ia menunjukkan "posisi AS di wilayah tersebut jelas semakin melemah," seraya menjelaskan, "ini sebagian disebabkan oleh keputusan para presiden beruntun yang dimulai sejak pemerintahan Obama untuk beralih ke Asia, memutuskan hanya akan memiliki sedikit keterlibatan dengan Timur Tengah, dan berusaha menghindari terjebak dalam konflik yang berlarut-larut.
"Oleh karena itu, kita melihat semakin sedikit upaya mediasi AS di wilayah tersebut dan keterlibatan mereka semakin berkurang. Tetap ada kehadiran mereka, bukanlah aktor yang tidak berperan, tetapi tidak seperti yang dulu pernah ada. Tidak seperti saat pemerintahan Clinton, atau ketika John Kerry sedang menjalankan diplomasi yang sangat energik sepuluh tahun yang lalu."
Sementara itu, Uni Eropa menjadi mediator yang dipilih kedua oleh responden di antara lima kekuatan besar yang diusulkan yaitu AS, Uni Eropa, Jepang, dan China bersama dengan Rusia.
Doyle mengatakan "masalah dengan Uni Eropa adalah mereka semakin terpecah belah, dengan banyak negara di Eropa Tengah dan Timur semakin menjauh dari konsensus internasional yang ada sejak tahun 1980."
"Dalam kelompok inti tersebut, sebagian besar adalah negara-negara Eropa Barat yang mengadopsi posisi yang masuk akal berdasarkan hukum internasional," lanjutnya, "Jadi gagasan Uni Eropa sebagai mediator saat ini tampaknya tidak realistis karena mereka tidak punya kesatuan yang memungkinkan mereka untuk memainkan peran tersebut."
Doyle menekankan Uni Eropa "harus punya keberanian politik untuk bertindak dan mengabaikan tekanan Amerika Serikat dan Israel kepada Uni Eropa, dan sampai saat ini, belum ada cukup kemauan politik yang terlibat."
Model mediasi yang lebih baik, menurut Doyle, adalah "melakukannya melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan melibatkan kekuatan-kekuatan besar, termasuk Amerika Serikat, yang akan menjadi penjamin dari setiap kesepakatan yang dihasilkan dari proses semacam itu."
Beberapa responden survei juga menyalahkan bias Amerika Serikat terhadap Israel atas kegagalan berulang dalam perundingan perdamaian.
Doyle menekankan, "gagasan bahwa Amerika Serikat dapat menjadi satu-satunya perantara dalam kesepakatan perdamaian antara Israel dan Palestina" tidak lagi "masuk akal. Bukan bagi mereka yang berada di luar, tetapi terutama bagi warga Palestina." [eta]