Hal ini mengarah pada lima hari perundingan intensif pada bulan Maret di Beijing, yang menghasilkan kesepakatan yang melibatkan penghormatan terhadap kedaulatan negara-negara regional, pemulihan hubungan diplomatik, dan revitalisasi perjanjian bilateral yang sebelumnya disepakati antara Iran dan Arab Saudi.
Sebagai respons terhadap keberhasilan tersebut, China menawarkan pada bulan April, di tengah meningkatnya ketegangan di Yerusalem, untuk memfasilitasi pembicaraan perdamaian antara Israel dan Palestina, mendorong agar pembicaraan tersebut dilanjutkan secepat mungkin.
Baca Juga:
Donald Trump Mulai Umumkan Nominasi Anggota Kabinet, Ini Daftarnya
Berbeda dengan sikap terhadap China, hampir 60 persen peserta tidak percaya pada kemampuan AS untuk memediasi negosiasi Palestina-Israel meskipun 86 persen dari mereka meyakini bahwa AS punya pengaruh signifikan terhadap Israel.
"Dalam pandangan rakyat Palestina, AS tidak pernah dianggap sebagai mediator yang netral atau adil," kata Direktur Dewan Pengertian Arab-Britania yang berbasis di London (CAABU), Chris Doyle, menambahkan "pemimpin (Palestina) mentolerir AS karena AS dianggap sebagai adikuasa tunggal di dunia selama bertahun-tahun, (mereka) tidak memiliki pilihan lain."
Ia mengatakan kepada Arab News, "ada banyak alasan mengapa Palestina, termasuk pemimpin mereka, tidak pernah melihat AS sebagai mediator yang bertanggung jawab."
Baca Juga:
Prabowo Dukung Solusi Dua Negara untuk Selesaikan Konflik Palestina
"AS secara terang-terangan menyatakan bahwa mereka pro-Israel, mereka punya aliansi strategis dengan Israel, secara rutin mengesahkan resolusi pro-Israel di Kongres, dan, tentu saja, memveto upaya mengesahkan resolusi Dewan Keamanan yang mengkritik Israel dengan segala perilakunya," jelas Doyle.
Ia menunjukkan "posisi AS di wilayah tersebut jelas semakin melemah," seraya menjelaskan, "ini sebagian disebabkan oleh keputusan para presiden beruntun yang dimulai sejak pemerintahan Obama untuk beralih ke Asia, memutuskan hanya akan memiliki sedikit keterlibatan dengan Timur Tengah, dan berusaha menghindari terjebak dalam konflik yang berlarut-larut.
"Oleh karena itu, kita melihat semakin sedikit upaya mediasi AS di wilayah tersebut dan keterlibatan mereka semakin berkurang. Tetap ada kehadiran mereka, bukanlah aktor yang tidak berperan, tetapi tidak seperti yang dulu pernah ada. Tidak seperti saat pemerintahan Clinton, atau ketika John Kerry sedang menjalankan diplomasi yang sangat energik sepuluh tahun yang lalu."