Perang ini disebut sebagai yang paling mematikan sejak serangkaian bentrokan bersenjata terjadi antara 2008 hingga 2011 di wilayah yang masih disengketakan berdasarkan peta warisan kolonial Prancis tahun 1907.
Seorang pengungsi Kamboja bernama Phean Neth mengungkapkan kegembiraannya mendengar kabar gencatan senjata karena merindukan rumah dan harta bendanya yang tertinggal.
Baca Juga:
Thailand Evakuasi Lebih dari 100 Ribu Warga, Konflik Perbatasan Belum Mereda
"Saya sangat bahagia hingga tak bisa menggambarkannya," ujar pria 45 tahun itu dari kamp pengungsian dekat kawasan kuil.
Dalam pernyataan bersama usai perundingan damai yang difasilitasi Malaysia, Kamboja dan Thailand menyebut gencatan senjata sebagai "langkah awal yang vital menuju de-eskalasi dan pemulihan perdamaian dan keamanan."
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Senin malam juga menyerukan agar kedua negara menghormati sepenuhnya perjanjian damai tersebut dan menciptakan iklim kondusif untuk mencapai penyelesaian jangka panjang.
Baca Juga:
Bentrok Berdarah di Perbatasan, Thailand Unggul di Udara dan Laut Lawan Kamboja
AS dan China turut terlibat dalam proses negosiasi yang dimediasi oleh Perdana Menteri Malaysia sekaligus Ketua ASEAN, Anwar Ibrahim, di Putrajaya.
Trump pun mendapat ucapan terima kasih dari Hun Manet atas dukungannya, sementara Penjabat PM Thailand, Phumtham Wechayachai, menegaskan bahwa "perundingan harus dijalankan dengan itikad baik oleh kedua belah pihak."
"Jika mereka mengatakan akan berhenti menembak, mereka harus berhenti sepenuhnya," kata Prapakarn Samruamjit, pengungsi Thailand berusia 43 tahun di kota Surin.