WahanaNews.co | Apakah China tengah
bersiap menginvasi Taiwan? Pertanyaan itu sedang didiskusikan dengan berapi-api
pada banyak forum di China. Hal itu pula yang seharusnya menjadi perhatian
utama Presiden Amerika Serikat (AS) mendatang di bidang geopolitik.
Wacana ini bermula ketika Presiden China, Xi
Jinping, mengunjungi pangkalan korps marinir Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) di
Provinsi Guangdong, 13 Oktober lalu. Saat berkunjung, Xi berkata kepada para
personel marinir agar "bersiap untuk perang".
Baca Juga:
Putri PM Kanada dan Putri Belgia Terdampak Konflik Harvard vs Trump
Pernyataan Xi tersebut ditulis sejumlah surat kabar
dengan tajuk utama yang mengindikasikan
invasi akan terjadi dalam waktu dekat.
Invasi hampir bisa dipastikan tidak bakal terjadi.
Namun, ada cukup alasan mendasar mengapa para pakar China mendiskusikan masa
depan Taiwan.
China dan Amerika Serikat sudah sejak lama
berhadapan satu sama lain terkait Taiwan. Beijing berkeras, pulau berpenduduk 23 juta jiwa itu adalah teritori
milik mereka "yang tak boleh dilanggar"
Baca Juga:
PBB: Israel Blokir Bantuan, Anak Gaza Terancam Gizi Buruk
Di sisi lain, Washington DC mengatakan, ketetapan apapun mengenai pemisahan Taiwan dan
China harus dilakukan secara damai.
Selama berpuluh tahun, kebuntuan itu terus bertahan.
Namun, sekarang,
situasi tersebut amat mungkin berubah.
Peninggalan Xi Jinping
Ada beberapa alasan mengapa status quo tampak tidak bisa langgeng. Pertama, adalah Xi Jinping.
"Xi Jinping ingin Taiwan kembali," kata
Professor Steve Tsang, Direktur
lembaga China Institute di School of Oriental and African Studies, London.
"Dan Xi Jinping ingin Taiwan kembali sebelum
dia menyerahkan kekuasaan kepada siapapun (pemimpin) yang muncul nanti," tambahnya.
Oriana Skylar Mastro, analis militer China di
Universitas Stanford, mengatakan, dirinya tersentak ketika Xi Jinping mendorong penghapusan batas
masa jabatan presiden pada 2018,
sehingga Xi praktis bisa menjadi presiden seumur hidup.
"Mendadak semua yang dia katakan mengenai
Taiwan mempunyai makna berbeda. Lini masa saat dia mengatakan dirinya ingin isu
ini diselesaikan kini terikat pada legitimasinya sebagai pemimpin dan masa
jabatannya sebagai pemimpin," papar Mastro.
Prof Tsang mengatakan, Xi Jinping memandang dirinya sebagai sosok
bersejarah yang hebat, dengan misi menyelesaikan segala sesuatu yang tidak bisa
dirampungkan para pemimpin China sebelumnya, termasuk Mao Zedong.
"Deng Xiaoping tidak bisa mendapatkan
Taiwan," ujarnya. "Bahkan Mao tidak bisa mendapatkan Taiwan. Dan jika
Xi Jinping mendapat Taiwan, (dia) tidak hanya lebih hebat dari Deng Xiaoping, tapi
juga Mao Zedong."
Xi Jinping telah menyatakan di hadapan publik bahwa
reunifikasi dengan Taiwan adalah "persyaratan tak terhindarkan untuk
peremajaan akbar rakyat China". Tenggat perampungan "peremajaan
akbar" ini diproyeksikan pada 2049, bertepatan dengan ulang tahun revolusi
komunis ke-100. Jaraknya dengan masa sekarang hampir 30 tahun.
Namun, ada alasan lain mengapa Xi terlihat
buru-buru.
Militer China Kian Berkembang
Pertama adalah China boleh jadi segera memiliki
kemampuan militer untuk mengalahkan AS dalam peperangan memperebutkan Taiwan.
"Selama 20 tahun terakhir, pertanyaan utama
yang banyak orang tanyakan adalah: apakah Amerika Serikat akan membela sekutu-sekutu dan
mitra-mitranya?" kata Mastro.
"Itu adalah pertanyaan yang sebelumnya
diajukan. Apakah Amerika Serikat akan datang membantu Taiwan? Namun, saat
militer China menjadi lebih maju, pertanyaannya telah berubah dari apakah
menjadi mampukah," tambahnya.
Transformasi militer China dari "Tentara
Rakyat" berteknologi rendah menjadi militer modern berteknologi tinggi
berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan banyak kalangan.
Kecepatan dan skala perubahan tersebut tampak dalam
parade ulang tahun RRC ke-70 di Beijing pada 1 Oktober tahun lalu.
Di antara deretan tank, artileri, dan peluncur
roket, terdapat sejumlah sistem persenjataan yang mencolok, antara lain pesawat
jet dan drone siluman serta "kendaraan hipersonik".
Alutsista terbaru ini dirancang untuk menyerang
armada tempur kapal induk AS, jikalau mereka berupaya turut campur melindungi
Taiwan.
Kapten James E Fanell sempat menjabat direktur Badan
Intelijen Angkatan Laut untuk armada Pasifik AS hingga pensiun pada 2015.
"Saya mencirikan apa yang saya sebut kerisauan
satu dekade, yaitu saat ini pada 2020 hingga 2030, sebagai masa paling berbahaya
menurut saya," papar Fanell, yang kini bekerja untuk lembaga Pusat
Kebijakan Keamanan Jenewa.
"Baik [mantan Presiden] Hu Jintao dan Xi
[Jinping] memerintahkan PLA untuk punya kemampuan mengambil alih Taiwan secara
militer pada 2020," lanjutnya.
"Jadi selama 20 tahun terakhir mereka telah
mengupayakan memenuhi perintah untuk memiliki kapasitas dan kemampuan
melancarkan invasi militer ke Taiwan," tandasnya.
"Kegagalan" AS di Laut China Selatan
China juga secara bertahap menguji Amerika, untuk
melihat seberapa jauh negara itu bisa bertindak sebelum AS merespons ancaman
terhadap sekutunya.
Menurut Kapten Fanell, AS berulang kali gagal dalam
ujian itu. Pertama, AS membiarkan China mengambil Scarborough Shoal dekat
perairan Filipina pada 2012. Kemudian, AS berpangku tangan ketika China
membangun sejumlah pangkalan di pulau-pulau buatan di Laut China Selatan.
"Yang terjadi di Scarborough Shoal dari April
hingga Juni 2012 adalah kegagalan kebijakan luar negeri terbesar Amerika di
Asia sejak helikopter-helikopter kami lepas landas dari gedung-gedung kedutaan
di Saigon pada 1975," katanya, merujuk kekalahan militer AS dalam Perang
Vietnam.
"Itu adalah bencana dan dampaknya sangat
melumpuhkan kredibilitas nasional Amerika di Asia saat kami tidak melakukan
apapun untuk membela Filipina," imbuhnya.
Bagi China, menduduki Taiwan bukan hanya perkara
mengembalikan "teritori yang hilang". Kendali pada pulau itu membuat
Beijing mendapatkan "kapal induk antikaram di Pasifik" --istilah yang pernah diucapkan Jenderal Douglas
MacArthur.
Mastro mengatakan kemenangan China atas Taiwan akan
mengubah total peta strategis Asia.
"Jika China jadi bertempur untuk mendapatkan
Taiwan dan menang, mereka tidak hanya reunifikasi dengan Taiwan, tapi pada dasarnya
juga mengakhiri peran Amerika Serikat sebagai pemimpin di Asia sebagaimana yang
kita tahu selama ini," jelasnya.
"Dengan demikian, ada banyak keuntungan dari
perspektif China," simpulnya.
Di Washington DC, kini ada pemahaman lintas haluan
partai bahwa ancaman terhadap Taiwan meningkat. Sebagai sinyal yang jelas untuk
China, pemerintahan Presiden Donald Trump telah menyetujui penjualan senjata
bernilai miliaran dollar ke Taiwan, termasuk, untuk pertama kalinya, rudal
canggih yang diluncurkan dari udara ke darat.
Risiko Salah Menghitung Kekuatan Militer AS
Bagaimanapun, masih belum jelas apa yang akan
dilakukan Amerika Serikat jika Taiwan diserang. Kapten Fanell mengatakan aksi
semacam itu merupakan kesalahan.
"Kita tahu dari sejarah, kita tahu kurangnya
dukungan terhadap pemerintah Taiwan mengindikasikan kepada Saddam bahwa dia
leluasa ke Kuwait," jelasnya.
"Kita tahu dari Perang Korea,
pernyataan-pernyataan ambigu memberikan China dan Rusia pemikiran bahwa OK
untuk menyerang Semenanjung Korea. Jika kita tidak mengeluarkan
pernyataan-pernyataan tegas tentang siapa teman dan sekutu dan apa yang akan
kita lakukan untuk membela mereka, maka kita menempatkan mereka dalam
risiko," tambahnya.
Konflik-konflik tersebut juga menjadi pelajaran bagi
Xi Jinping, menurut Prof Tsang. Walau terlambat, Amerika toh membantu Korea
Selatan dan Kuwait.
Prof Tsang menilai China tidak akan menganggap
enteng tekad militer AS begitu mereka diprovokasi.
"Semangat militer Amerika Serikat adalah mereka
akan bertempur dan bertempur dan bertempur. Jika China memperhitungkan itu,
saya pikir mereka akan lebih berhati-hati dalam membuat kalkulasi dan risiko
salah perhitungan bisa dikurangi," paparnya.
Jika kemarahan dan kecurigaan mengenai Covid-19
ditambahkan pada ketegangan akibat perang dagang, investigasi Huawei, penutupan konsulat, dan pengusiran
wartawan, hubungan antara Washington DC dan Beijing berada pada titik terendah
sejak peristiwa pembantaian di Lapangan Tiananmen pada 1989.
Ada berbagai suara di kedua belah pihak yang
menyerukan agar presiden AS selanjutnya meninggalkan cara-cara permusuhan dan
kembali melakukan pendekatan dengan China. Namun, dari beragam kalangan yang
saya wawancarai, secara umum mengatakan cara pendekatan lama telah gagal.
Mereka mengatakan presiden AS selanjutnya harus
mencari pendekatan tipe baru yang lebih jujur, lebih kukuh. Pada saat yang
sama, AS harus lebih jelas mengenai kewajiban dan tujuannya, terhadap
sekutu-sekutunya di Asia, termasuk Taiwan. [qnt]